TEORI MODERNITAS KONTEMPORER DAN TEORI GLOBALISASI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Teori Sosial
Dosen Pengampu: Suprihatiningsih, S.Ag., M.S.I.
Disusun Oleh:
Muhammad Burhan (1501046014)
Ainis Shofwah Mufarriha (1501046031)
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia dalam
modernitas adalah perencana dan perancang yang tidak hanya memiliki pandangan
mengenai bagaimana dunia mesti dipahami, tetapi juga penguasa berbagai alat
untuk mencapai pemahaman itu. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan akal budi
pekerti menjadi “dewa-dewa” baru. Alam dipandang sebagai halangan yang mesti
ditaklukkan. Manusia modern berupaya untuk mengendalikan dan menentukan desain
dunia sekelilingnya. Ia memutus rantai ketidakmungkinan dan ketidakpastian yang
berasal dari era sebelumnya. Zygmunt Bauman menegaskan mengenai modernitas
sebagai “an age of “gardeners” who treat society as a virgin plot of land
expertly designed and then cultivated and doctored to keep to the design form.”[1]
Fenomena
masyarakat kapitalisme dimana industrialisasi yang kemudian mendorong proses
urbanisasi itu berlangsung di masyarakat, telah lama menjadi sorotan oleh
banyak pemikir sosiolog awal termasuk Emile Durkheim yang memberi perhatiannya
pada pembagian kerja (division of labor) saat proses itu berlangsung
dalam hubungannya dengan tatanan sosial dalam arti yang lebih luas, atau dengan
istilah Durkheim sendiri yaitu solidaritas sosial.
Lebih jauh
mengenai teori modernitas dan teori globalisasi, ada beberapa tokoh yang kami
angkat, yang kesemuanya memiliki gagasan yang menarik dari kedua hal yang
menjadi topik ini pembahsan makalah ini. Lebih jelasnya, kami akan paparkan
pada bab pembahasan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan teori modernitas kontemporer?
2.
Apa
yang dimaksud masyarakat beresiko?
3.
Bagaimana
yang dimaksud McDonaldisasi itu?
4.
Apa
yang dimaksud dengan alat konsumsi baru?
5.
Apa
yang dimaksud teori globalisasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum
membahas karya pemikir kontemporer tentang modernitas, perlu diingat bahwa
sebagian besar sosiolog klasik terlibat dalam menganalisis dan mengkritik
kehidupan masyarakat modern. Analisis tentang masyarakat modern ini jelas
terlihat dalam karya empat orang teoritisi klasik: Karl Marx, Max Weber, Emile
Durkheim dan Simmel. Keempatnya membahas masalah kemunculan dan pengaruh modernitas.
Meski keempatnya menyadari keuntungan dari modernitas, namun yang menjiwai
karya mereka terutama adalah kritik atas masalah yang dihadapi oleh kehidupan
modern.
Menurut Marx,
modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis. Ia mengakui kemajuan yang
ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat sebelumnya ke masyarakat kapitalisme.
Namun, dalam karya-karyanya, sebagian besar perhatiannya ditujukan untuk
mengkritik sistem ekonomi kapitalis dan kecacatannya.
Menurut Weber,
masalah kehidupan modern yang paling menentukan adalah perkembangan
rasionalitas formal dengan mengorbankan tipe rasionalitas lain dan
mengakibatkan munculnya kerangkeng besi rasionalitas. Manusia semakin
terpenjara dalam kerangkeng besi ini dan akibatnya semakin tak mampu
mengungkapkan beberapa ciri kemanusiaan mereka yang paling mendasar. Weber
tentu saja menghargai keuntungan dari kemajuan rasionalisasi-misalnya,
birokrasi yang lebih kuat daripada bentuk-bentuk organisasi sebelumnya-tetapi
ia sangat memperhatikan masalah yang dihadapi oleh rasionalisasi.
Menurut
Durkheim, modernitas ditentukan oleh solidaritas organik dan pelemahan
kesadaran kolektif. Meski solidaritas organik menghasilkan kebebasan yang lebih
besar dan produktifitas yang lebih tinggi, namun juga menghadapi serangkaian masalah
unik. Sebagai contoh, dengan melemahnya moralitas bersama, orang cenderung
merasakan dirinya tak bermakna dalam kehidupan modern. Dengan kata lain, mereka
merasakan diri mereka menderita anomi.[2]
Simmel,
dipandang meneliti modernitas terutama di dua sisi utama yang saling
berhubungan-kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat modernitas dipublikasikan
dan ekonomi uang menyebabkan penyebaran modernitas dan perluasannya. Frisby
menerima pendapat yang memandang “Simmel adalah sosiolog mederitas pertama” (1992:
59).
Menjelang 1920,
keempat teoritisi sosiologi klasik ini telah meninggal. Ketika kita mendekati
tahun 2000 jelas kehidupan masyarakat sangat berbeda dari keadaan 1920-an.
Meski terdapat perbedaan pendapat tentang kapan zaman post-modernitas dimulai,
namun tak seorang pakar pun yang berpendapat bahwa masa itu dimulai tahun 1920.
Masalahnya adalah apakah pakar perubahan kehidupan dunia sejak 1920 itu
sederhana dan berlanjut dan berhubungan dengan modernitas, ataukah sedemikian
dramatis dan terputus-putus sehingga kehidupan masa kini lebih tepat dilukiskan
dengan istilah post-modernisme atau tidak.
A.
Teori
Modernitas Kontemporer
Modernitas
Juggernaut
Anthony Giddens
melukiskan kehidupan modern sebagai sebuah “Juggernaut” (panser-raksasa). Ia
menggunakan istilah ini lebih khusus lagi untuk melukiskan tiap tahap kemajuan
modernitas. Dengan menggunakan terminologi “panser raksasa” ini ia bermaksud
menentang pendapat pakar yang menyatakan bahwa kita telah memasuki era
post-modern, meski ia menyatakan kemungkinan munculnya tipe post-modernisme di
masa datang. Namun demikian, meski kita masih didup di era modern, menurut
Giddens kehidupan kita ini sangat berbeda dari kehidupan di era teoritisi
sosiologi klasik itu. [3]
Kehidupan
kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu
bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan
dirinya hancur lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang
menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun juga
sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya.
Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tak bermanfaat;
adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai yang diharapkan. Tetapi
sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu
mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kita pun
takkan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya penuh
dengan bahaya.(Giddens, 1990: 139)
Modernitas dalam
bentuk panser raksasa ini sangat dinamis. Kehidupan modern adalah sebuah “dunia
yang tak terkendali” (runaway world) dengan langkah, cakupan dan
kedalaman perubahannya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem
sebelumnya. Modernitas ini tidak mengikuti satu jalan tunggal. Bukan satu
bagian, tetapi terdiri dari sejumlah bagian berlawanan dan saling bertentangan.
Jadi, Giddens menjelaskan kepada kita bahwa ia tidak menyajikan kita sebuah
teori umum gaya lama atau sekurang-kurangnya tak menyodorkan sebuah cerita umum
sederhana berarah tunggal.
Gagasan yang
menganalogkan modernitas dengan panser raksasa yang sedang melaju itu berisi
pentingnya peran ruang dan waktu dalam teori itu. Bayangan tentang panser
raksasa adalah bayangan tentang sesuatu yang bergerak melalui rentang waktu dan
ruang fisik. Citra panser raksasa ini rupanya dimaksudkan untuk menerangkan
bahwa mekanisme modern ini jauh lebih besar kekuasaannya ketimbang agen yang
mengemudikannya.[4]
B.
Masyarakat
Beresiko
Anthony Giddens
dan Ulrich Beck memiliki penolakan yang sama mengenai gagasan yang menyatakan
bahwa kita telah memasuki era post-modern. Menurut Beck, kita masih terus
berada dalam kehidupan modern, walaupun dalam bentuk modernitas baru. Tahap
“klasik” modernitas sebelumnya berkaitan dengan masyarakay industri, sedangkan
kemunculan modernitas baru berkaitan dengan masyarakat beresiko. Masyarakat
beresiko sebenarnya dapat dilihat sebagai sejenis masyarakat industri karena
kebanyakan resikonya itu berasal dari industri.
Beck menamakan
masyarakat baru ini dengan modernitas refleksif . Sebuah proses
individualisasi yang kini terjadi di Barat. Yakni, agen-agen semakin bebas dari
paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan secara refleksif
diri mereka sendiri dan masyarakat dimana mereka hidup. Dengan kata lain,
ikatan sosial pun semakin refleksif, dengan demikian ikatan sosial itu
dibentuk, dipelihara, dan terus menerus diperbarui oleh individu.
Masalah sentral
dalam modernitas klasik adalah kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya
dengan lebih merata. Sedangkan masalah sentral dalam modernitas yang lebih maju
adalah resiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau
menyalurkannya. Dalam modernitas klasik, orang mencapai solidaritas dalam
mencari-cari tujuan positif persamaan,tetapi dalam modernitas lebih maju, upaya
untuk mencapai solidaritas itu ditemukan dalam mencari-cari tujuan menghindari
bahaya yang sebagian besar bersifat negatif dan defensif.
C.
McDonaldisasi
Sumber teoritis
untuk The McDonaldization of Society adalah karya Weber tentang
rasionalitas. Dalam karyanya ini sasaran perhatian semata-mata hanya tertuju
pada rasionalitas formal dan pada fakta bahwa restoran cepat-saji (fast-food)
mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Dengan demikian,
orang dapat menyatakan bahwa sistem rasional formal dimasa hidup Weber adalah
sebuah birokrasi, sedangkan restoran cepat-saji kini mencerminkan paradigma
yang lebih baik daripada jenis rasionalitas formal ini. Birokrasi, dalam hal
ini restoran cepat-saji merupakan contoh lebih baik dari tipe rasionalitas
formal ini. Ini secara tak langsung menyatakan bahwa rasionalitas formal masih
tetap merupakan komponen kunci kehidupan modern. [5]
Ada empat
dimensi atau komponen rasionalitas formal: efisiensi, kemampuan untuk
diprediksi, lebih menekankan kuantitas timbang kualitas dan penggantian
teknologi nonmanusia untuk teknologi manusia—bentuk rasionalitas inilah yang
cenderung menyebabkan ketidakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the
irrationality of rationality). Efisiensi, berarti cara yang terbaik
untuk mencapai tujuan. Contoh, dalam restoran cepat-saji mengulurkan sajian
lewat jendela adalah contoh yang baik dari efisiensi. Kemampuan untu
diprediksi, berarti dunia tanpa kejutan. Contoh, Big Mac di Los Angeles
tidak dapat dibedakan dengan Big Mac di New York. Lebih menekankan kuantitas
timbang kualitas, contoh restoran cepat-saji. Daripada tergantung pada
kualitas manusia seorang koki, restoran cepat-saji tergantung pada teknologi
nonmanusia seperti koki yang tak terampil yang mengikuti petunjuk ciri dan
metode garis perakitan yang diterapkan dalam memasak dan menyajikan makanan
kepada pemesan. Sistem rasionalitas formal menimbulkan berbagai
ketidakrasionalan, dan yang paling menonjol adalah demistifikasi dan
dehumanisasi pengalaman makan.
Selain restoran
cepat saji, adapula industri mobil Jepang dan kartu kredit yang dibahas dalam
bagian ini. Ketiganya dipandang sebagai bagian dari me-McDonald-kan kehidupan
kita, merasionalkan secara formal masyarakat modern. Yang dapat kita simpulkan
adalah bahwa ketiga kasus yang disebut diatas menunjukkan bahwa rasionalitasn,
dan karena itu modernitas, masih hidup dan sehat dalam kehidupan masa kini.
Maka pernyataan bahwa kita telah memasuki kehidupan post-modernisme mungkin
belum waktunya atau mungkin keliru.
D.
Alat
Konsumsi Baru
Ritzer (1999)
belakangan ini telah membahas munculnya “alat konsumsi baru” di Amerika Serikat
sepanjang lebih dari setengah abad sejak akhir Perang Dunia II. McDonald dan
industri fast-food pada umumnya adalah salah satu dari alat konsumsiyang baru,
selain alat-alat lainnya, seperti mall, megamall (Mall of America), cybermall,
superstore, hotel-kasino Las Vegas, taman bertemakan ala Disney, dan lain
sebagainya.
Konsep arti
baru konsumsi diturunkan dari karya Karl Marx. Marx bahyak membahas mengenai
konsumsi khususnya dalam karyanya tentang komoditas. Namun, konsep yang digagas
Marx dalam menggunakan ide, alat-alat konsumsi bukanlah alat tetapi produk
akhir dalam model konsumsinya: mereka adalah barang-barang yang dikonsumsi.
Dengan kata lain, dalam karya Marx tidak ada pembahasan mengenai perbedaan
antara barang-barang konsumen dengan apa yang kita sebut sebagai alat-alat
konsumsi. Misal, mall belanja dan kapal pesiar. Dalam karyanya tidak ada
kesejajaran dalam dunia konsumsi dengan peran perantara yang dimainkan oleh
alat-alat produksi.[6]
Semua alat
konsumsi baru itu adalah modern dalam pengertian bahwa alat-alat itu sebagian
besar adalah inovasi baru yang muncul dan berkembang pada paruh akhir abad dua
puluh. Seperti McDonald, alat-alat itu sebagian besar inovasi Amerika yang
diserbarkan tidak hanya di Amerika melainkan ke seluruh belahan dunia. Alat
konsumsi baru adalah bersifat modern dalam pengertiannya yang lebih penting,
yakni alat-alat itu sangat rasional atau ter-McDonaldisasi-kan. Baik itu
mengenai efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, maupun kontrol melalui
teknologi nonmanusia, bukannya teknologi manusia.
E.
Teori
Globalisasi
Jika diperhatikan secara seksama,
banyak pihak yang bersikap optimis bahwa globalisasi akan membawa dampak baik.
Mereka yakin bahwa pada saatnya akan ada gejala dimana batasan kultural antar
negara di berbagai kawasan dunia akan melebur menjadi kultur baru yang
mendunia. Dengan demikian, teori ini memandang akan adanya sebuah imperium
kultur global. Sehingga, semakin homogennya batas budaya manusia makan akan
membawa kebaikan diantaranya terciptanya perdamaian dunia.
Akan tetapi, sebagian yang lain
justru memandang globalisasi sebagai fenomena negatif. Pandangan ini berdasar
bahwa pada kenyataannya perubahan struktur dunia tidak membawa homogenitas pada
budaya dunia tetapi justru melahirkan dominasi negara adikuasa. Seolah-olah
polisi dunia berhak menangkap siapa saja yang tidak sejalan dengan ideologi
liberalisme mereka.
Kelompok ketiga justru tidak
mempercayai akan adanya perubahan yang sangat spektakuler ini. Menurut mereka,
globalisasi adalah sebuah mitos belaka, sebab gejala yang ada sekarang adalah
sebuah lanjutan dari gejala sosiokultural masa lampau. Teori ini berasala dari
kaum tradisionalis yang merespon globalisasi hanyalah sesuatu yang
dibesar-besarkan.[7]
Terlepas dari ketiga pandangan
diatas, mari kita lihat abstraksi singkat mengenai globalisasi sebagai fenomena
kontemporer. Meanwhile, globalization as a contemporary phenomenon that can
not be avoided. It has become a space for the emergence of various alternative
approaches to address the scientific challenges of the time in which the
boundaries between regions ranging from the regional to the global scope are
blurred, as well as theoretical, paradigmatic and conceptual that has shaken
confidence in the classical sociology itself, such as a concept of society.[8]
Teori globalisasi juga muncul akibat
dari serangkaian perkembangan internal teori sosial, khususnya reaksi terhadap
perspektif terdahulu seperti teori modernisasi. Globalisasi dapat dianalisa
secara kultural, ekonomi, politik dan isntitusional. Teoritisi yang memfokuskan
pada faktor-faktor ekonomi cenderung menekankan arti penting ekonomi dan
efeknya yang bersifat homogenizing terhadap dunia. Setelah tinjauan
singkat ini, kita beralih ke beberapa ringkasan dari teori-teori globalisasi.
a.
Perspektif
Neo-Marxian tentang Globalisasi
Doughlas
Kellner memfokuskan pada realitas kapitalisme sekarang dimana teknologi
memegang peran yang semakin penting. Kellner mengatakan bahwa kunci memahami globalisasi adalah
menyusun teori tentangnya sebagai produk dari revolusi teknologi sekaligus
restrukturisasi global kapitalisme. Meskipun ekonomi kapitalis masih penting
untuk memahami globalisasi, teknologi sainslah yang memberikan
infrastrukturnya. Jadi, kuncinya terletak pada hubungan dialektis antara
tekno-sains dengan ekonomi kapitalis atau tekno-kapitalisme.
Yang merupakan
hal penting bagi Kellner dan refleksi dari perspektif pemikirannya adalah
pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai cara
untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi, internet juga dipakai
untuk mobilisasi orang-orang yang menentang
globalisasi.[9]
b.
Giddens
tentang “Runaway World” dari Globalisasi
Pandanag
Giddens tentang globalisasi erat kaitannya dan tumpang tindih dengan
pemikirannya tentang modernitas. Giddens melihat kaitan erat antara globalisasi
dan resiko, khususnya munculnya apa yang dinamakan manufactured risk. Dia
mengakui bahwa globalisasi adalah proses dua arah, dengan Amerika dan Barat
sebagai kawasan yang paling banyak terkena pengaruhnya. Ia juga mengakui bahwa
globalisasi melemahkan kultural lokal.
Pada akhirnya,
Giddens melihat kemunculan “masyarakat kosmopolitan global.” Lebih jauh,
fundamentalisme menggunakan kekuatan-kekuatan global (misal media massa) untyk
memperluas tujuan-tujuannya. Giddens berpikir bahwa fundamentalisme adalah
sebuah problem. Karena fundamentalisme dekat dengan kemungkinan kekerasan dan
fundamentalisme adalah lawan dari kosmopolitan.
c.
Beck
dan Politik Globalisasi
Esensi dari
pemikiran Beck pada isu ini adalah pembeda antara globalisme, globalitas dan
globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh
perekonomian dan kita menyaksikan munculnya hegemoni pasar duni kapitalis dan
ideologi neoliberal yang menopangnya. Multidimensionalitas dari perkembangan
global-ekologi, politik, kultur dan masyarakat sipil direduksi menjadi dimensi
ekonomi saja.
Beck melihat
lebih banyak kebaikan dalam ide tentang globalitas, dimana ruang-ruang
tertutup, khususnya yang diasosiasikan dengan bangsa, semakin ilusif karena globalisasi
atau proses-proses yang melalui negara berdaulat yang dilemahkan oleh
aktor-aktor transnasional dengan berbagai macam prospek kekuasaan, orientasi,
identitas dan jaringan. Proses transnasional ini bukan hanya ekonomi, melainkan
juga melibatkan ekologi, kultur, politik dan msyarakat sipil. Globalitas
berarti bahwa mulai sekarang tak ajda kejadian di planet kita yang hanya pada
situasi lokal terbatas: semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi
seluruh dunia.[10]
d.
Bauman
tentang Konsekuensi Globalisasi Manusia
Bauman(1998) melihat globalisasi dari “perang ruang”.
Dalam pandangannya, mobilitas menjadi faktor penstratifikasi paling kuat dan
paling diharapkan di dunia sekarang ini. Jadi, pemenang dari perang rung ini
adalah mereka yang mampu bergerak secara bebas ke seluruh dunia dan dalam
proses untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri. Contoh: turis yang
bisa kemana saja karena mereka menginginkannya, tertarik oleh sesuatu dan
mereka tak bisa menolak.
Bagaimanapun,
bahkan pemenang dalam globalisasi ini memiliki problem tersendiri. Pertama,
terdapat sejumlah beban yang diasosiasiakn dengan ketidakmungkinan. Kedua,
mobilitas berarti ragkaian pilihan yang tiada habis. Ketiga, setiap
pilihan yang ada membawa rangkaian resiko dan bahaya. Mobilitas tiada akhir dan
pilihan tiada ujung akan menjadi tumpukan persoalan-kalau tidak yang tumpukan
beban.
e.
Ritzer
tentang “Globalization of Nothing”
Ritzer mengatakan bahwa kita
menyaksikan globalisasi nothing. Globalisasi cenderung menyebarkan nothing
ke seluruh dunia. Maksudnya adalah lebih mudah mengekspor bentuk-bentuk kosong
ke seluruh dunia daripada bentuk-bentuk yang penuh dengan isi. Contoh
penyebaran global karya seni Disney. Kosong atau nothing disini lebih
kecil kemungkinannya berkonflik dengan lokal. Contoh, mall perbelanjan, yang
merupakan struktur yang sebagian besar kosong yang mudah di replikasi ke
seluruh dunia diisi dengan berbagai isi spesifik tanpa batas (toko lokal,
makanan lokal-yakni diisi something). Jadi argumen dasarnya bahwa
globalisasi membawa penyebaran nothingness ke seluruh dunia.
f.
“Landscape” Appadurai
Ada lima arus
global-ethnoscapes (aktor yang memainkan peran penting dalam pergeseran
didunia dimana kita tinggal), mediascapes (distribusi kapabilitas
elektronik untuk menyebarluaskan informasi –koran, majalah, televisi, dll-
semakin banyak), technoscapes (konfigurasi global dari teknologi baik
yang mekanistik dan informasional yang bergerak dengan kecepatan tinggi),
financescapes (melibatkan proses dengannya –pasar, bursa saham, komoditas-
melalui batas nasional dengan kecepatan tinggi) dan ideoscapes (serangkaian
imaji tapi bersifat politis yang secara eksplisit berorientasi merebut
kekuasaan).
Penggunaan sufiksnya,
-scape membuat Appadurai bisa mengkomunikasikan ide bahwa proses ini
berbentuk cair dan tak teratur. Ada dua hal yang secara khusus perlu dicatat
tentang landskap Arjun Appadurai. Pertama, landskap-landskap itu dapat dilihat
sebagai proses global yang sebagian terlepas dari negara-bangsa manapun. Kedua,
arus global mengalir bukan hanya melalui landskap namun semakin meningkat
melalui disjungtur diantara mereka.[11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Modernitas
Juggernaut. Anthony Giddens melukiskan kehidupan modern sebagai sebuah
“Juggernaut” (panser-raksasa). Namun demikian, meski kita masih didup di era
modern, menurut Giddens kehidupan kita ini sangat berbeda dari kehidupan di era
teoritisi sosiologi klasik itu.
Masyarakat
Beresiko. Anthony Giddens dan Ulrich Beck memiliki penolakan yang sama mengenai
gagasan yang menyatakan bahwa kita telah memasuki era post-modern.
McDonaldisasi. Sumber
teoritis untuk The McDonaldization of Society adalah karya Weber tentang
rasionalitas. Dalam karyanya ini sasaran perhatian semata-mata hanya tertuju
pada rasionalitas formal dan pada fakta bahwa restoran cepat-saji (fast-food)
mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Ada empat dimensi
atau komponen rasionalitas formal: efisiensi, kemampuan untuk diprediksi, lebih
menekankan kuantitas timbang kualitas dan penggantian teknologi nonmanusia
untuk teknologi manusia.
Alat Konsumsi
Baru. Ritzer (1999) belakangan ini telah membahas munculnya “alat konsumsi
baru” di Amerika Serikat sepanjang lebih dari setengah abad sejak akhir Perang
Dunia II. Konsep arti baru konsumsi diturunkan dari karya Karl Marx. Marx
bahyak membahas mengenai konsumsi khususnya dalam karyanya tentang komoditas.
Dalam karyanya tidak ada kesejajaran dalam dunia konsumsi dengan peran
perantara yang dimainkan oleh alat-alat produksi.
Teori
Globalisasi, diantaranya yaitu: Perspektif Neo-Marxian tentang Globalisasi, Giddens
tentang “Runaway World” dari Globalisasi, Beck dan Politik Globalisasi, Bauman
tentang Konsekuensi Globalisasi Manusia, Ritzer tentang “Globalization of
Nothing” dan “Landscape” Appadurai yang kesemuanya memiliki bidang
masing-masing untuk dikaji.
DAFTAR PUSTAKA
Fansuri, Hamzah, 2012,
Globalisasi, Postmodernisme dan Tantangan Kekinian Sosiologi Indonesia,
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 2, No. 1, April 2012 ISSN: 2089-0192
Ritzer, George dan Doughlas J.
Goodman, 2011, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam, Jakarta:
Prenadamedia Group.
Ritzer, George, 2014, Teori
Sosiologi Modern Edisi Ketujuh, Jakarta: Prenadamedia Group.
Robet, Robertus, 2016, Modernitas
dan Tragedi: Kritik dalam Sosiologi Humanistis Zygmunt Bauman, MASYARAKAT:
Jurnal Sosiologi, 20(2): 139-157
Setiadi, Elly M., dan Usman Kolip,
2013, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Prenadamedia Group.
[1] Robertus
Robet, Modernitas dan Tragedi: Kritik dalam Sosiologi Humanistis Zygmunt
Bauman, MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 20(2): 139-157 2016
[2]
George Ritzer, Teori
Sosiologi Modern Edisi Ketujuh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014) hlm.
504-50
[3] George Ritzer
dan Doughlas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2011) hlm. 552
[4] George Ritzer
dan Doughlas J. Goodman, Ibid., hlm. 553
[5] George Ritzer,
Ibid., hlm. 547
[6] George Ritzer
dan Doughlas J. Goodman, Ibid., hlm. 567
[7] Elly M.
Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Prenadamedia
Group, 2013) hlm. 692
[8] Hamzah Fansuri
(Dosen pada Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Bengkulu),
Globalisasi, Postmodernisme dan Tantangan Kekinian Sosiologi Indonesia,
Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 2, No. 1, April 2012 ISSN: 2089-0192
[9] George Ritzer
dan Doughlas J. Goodman, Ibid., hlm. 590
[10] George Ritzer,
Ibid., hlm. 539
[11] George Ritzer
dan Doughlas J. Goodman, Ibid., hlm. 590-599