Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 14 Desember 2016

TEORI SOSIAL: TEORI MODERNITAS KONTEMPORER DAN TEORI GLOBALISASI



TEORI MODERNITAS KONTEMPORER DAN TEORI GLOBALISASI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Teori Sosial
Dosen Pengampu: Suprihatiningsih, S.Ag., M.S.I.

   
Disusun Oleh:
Muhammad Burhan                (1501046014)
Ainis Shofwah Mufarriha       (1501046031)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia dalam modernitas adalah perencana dan perancang yang tidak hanya memiliki pandangan mengenai bagaimana dunia mesti dipahami, tetapi juga penguasa berbagai alat untuk mencapai pemahaman itu. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan akal budi pekerti menjadi “dewa-dewa” baru. Alam dipandang sebagai halangan yang mesti ditaklukkan. Manusia modern berupaya untuk mengendalikan dan menentukan desain dunia sekelilingnya. Ia memutus rantai ketidakmungkinan dan ketidakpastian yang berasal dari era sebelumnya. Zygmunt Bauman menegaskan mengenai modernitas sebagai “an age of “gardeners” who treat society as a virgin plot of land expertly designed and then cultivated and doctored to keep to the design form.”[1]
Fenomena masyarakat kapitalisme dimana industrialisasi yang kemudian mendorong proses urbanisasi itu berlangsung di masyarakat, telah lama menjadi sorotan oleh banyak pemikir sosiolog awal termasuk Emile Durkheim yang memberi perhatiannya pada pembagian kerja (division of labor) saat proses itu berlangsung dalam hubungannya dengan tatanan sosial dalam arti yang lebih luas, atau dengan istilah Durkheim sendiri yaitu solidaritas sosial.
Lebih jauh mengenai teori modernitas dan teori globalisasi, ada beberapa tokoh yang kami angkat, yang kesemuanya memiliki gagasan yang menarik dari kedua hal yang menjadi topik ini pembahsan makalah ini. Lebih jelasnya, kami akan paparkan pada bab pembahasan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan teori modernitas kontemporer?
2.      Apa yang dimaksud masyarakat beresiko?
3.      Bagaimana yang dimaksud McDonaldisasi itu?
4.      Apa yang dimaksud dengan alat konsumsi baru?
5.      Apa yang dimaksud teori globalisasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas karya pemikir kontemporer tentang modernitas, perlu diingat bahwa sebagian besar sosiolog klasik terlibat dalam menganalisis dan mengkritik kehidupan masyarakat modern. Analisis tentang masyarakat modern ini jelas terlihat dalam karya empat orang teoritisi klasik: Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim dan Simmel. Keempatnya membahas masalah kemunculan dan pengaruh modernitas. Meski keempatnya menyadari keuntungan dari modernitas, namun yang menjiwai karya mereka terutama adalah kritik atas masalah yang dihadapi oleh kehidupan modern.
Menurut Marx, modernitas ditentukan oleh ekonomi kapitalis. Ia mengakui kemajuan yang ditimbulkan oleh transisi dari masyarakat sebelumnya ke masyarakat kapitalisme. Namun, dalam karya-karyanya, sebagian besar perhatiannya ditujukan untuk mengkritik sistem ekonomi kapitalis dan kecacatannya.
Menurut Weber, masalah kehidupan modern yang paling menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dengan mengorbankan tipe rasionalitas lain dan mengakibatkan munculnya kerangkeng besi rasionalitas. Manusia semakin terpenjara dalam kerangkeng besi ini dan akibatnya semakin tak mampu mengungkapkan beberapa ciri kemanusiaan mereka yang paling mendasar. Weber tentu saja menghargai keuntungan dari kemajuan rasionalisasi-misalnya, birokrasi yang lebih kuat daripada bentuk-bentuk organisasi sebelumnya-tetapi ia sangat memperhatikan masalah yang dihadapi oleh rasionalisasi.
Menurut Durkheim, modernitas ditentukan oleh solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif. Meski solidaritas organik menghasilkan kebebasan yang lebih besar dan produktifitas yang lebih tinggi, namun juga menghadapi serangkaian masalah unik. Sebagai contoh, dengan melemahnya moralitas bersama, orang cenderung merasakan dirinya tak bermakna dalam kehidupan modern. Dengan kata lain, mereka merasakan diri mereka menderita anomi.[2]
Simmel, dipandang meneliti modernitas terutama di dua sisi utama yang saling berhubungan-kota dan ekonomi uang. Kota adalah tempat modernitas dipublikasikan dan ekonomi uang menyebabkan penyebaran modernitas dan perluasannya. Frisby menerima pendapat yang memandang “Simmel adalah sosiolog mederitas pertama” (1992: 59).
Menjelang 1920, keempat teoritisi sosiologi klasik ini telah meninggal. Ketika kita mendekati tahun 2000 jelas kehidupan masyarakat sangat berbeda dari keadaan 1920-an. Meski terdapat perbedaan pendapat tentang kapan zaman post-modernitas dimulai, namun tak seorang pakar pun yang berpendapat bahwa masa itu dimulai tahun 1920. Masalahnya adalah apakah pakar perubahan kehidupan dunia sejak 1920 itu sederhana dan berlanjut dan berhubungan dengan modernitas, ataukah sedemikian dramatis dan terputus-putus sehingga kehidupan masa kini lebih tepat dilukiskan dengan istilah post-modernisme atau tidak.
A.    Teori Modernitas Kontemporer
Modernitas Juggernaut
Anthony Giddens melukiskan kehidupan modern sebagai sebuah “Juggernaut” (panser-raksasa). Ia menggunakan istilah ini lebih khusus lagi untuk melukiskan tiap tahap kemajuan modernitas. Dengan menggunakan terminologi “panser raksasa” ini ia bermaksud menentang pendapat pakar yang menyatakan bahwa kita telah memasuki era post-modern, meski ia menyatakan kemungkinan munculnya tipe post-modernisme di masa datang. Namun demikian, meski kita masih didup di era modern, menurut Giddens kehidupan kita ini sangat berbeda dari kehidupan di era teoritisi sosiologi klasik itu. [3]
Kehidupan kolektif modern ibarat panser raksasa yang tengah melaju hingga taraf tertentu bisa dikemudikan, tetapi juga terancam akan lepas kendali hingga menyebabkan dirinya hancur lebur. Panser raksasa ini akan menghancurkan orang yang menentangnya dan meski kadang-kadang menempuh jalur yang teratur, namun juga sewaktu-waktu dapat berbelok ke arah yang tak terbayangkan sebelumnya. Perjalanannya bukannya sama sekali tak menyenangkan atau tak bermanfaat; adakalanya memang menyenangkan dan berubah sesuai yang diharapkan. Tetapi sepanjang institusi modernitas ini terus berfungsi, kita takkan pernah mampu mengendalikan sepenuhnya baik arah maupun kecepatan perjalanannya. Kita pun takkan pernah merasa aman sama sekali karena kawasan yang dijelajahinya penuh dengan bahaya.(Giddens, 1990: 139)
Modernitas dalam bentuk panser raksasa ini sangat dinamis. Kehidupan modern adalah sebuah “dunia yang tak terkendali” (runaway world) dengan langkah, cakupan dan kedalaman perubahannya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem sebelumnya. Modernitas ini tidak mengikuti satu jalan tunggal. Bukan satu bagian, tetapi terdiri dari sejumlah bagian berlawanan dan saling bertentangan. Jadi, Giddens menjelaskan kepada kita bahwa ia tidak menyajikan kita sebuah teori umum gaya lama atau sekurang-kurangnya tak menyodorkan sebuah cerita umum sederhana berarah tunggal.
Gagasan yang menganalogkan modernitas dengan panser raksasa yang sedang melaju itu berisi pentingnya peran ruang dan waktu dalam teori itu. Bayangan tentang panser raksasa adalah bayangan tentang sesuatu yang bergerak melalui rentang waktu dan ruang fisik. Citra panser raksasa ini rupanya dimaksudkan untuk menerangkan bahwa mekanisme modern ini jauh lebih besar kekuasaannya ketimbang agen yang mengemudikannya.[4]
B.     Masyarakat Beresiko
Anthony Giddens dan Ulrich Beck memiliki penolakan yang sama mengenai gagasan yang menyatakan bahwa kita telah memasuki era post-modern. Menurut Beck, kita masih terus berada dalam kehidupan modern, walaupun dalam bentuk modernitas baru. Tahap “klasik” modernitas sebelumnya berkaitan dengan masyarakay industri, sedangkan kemunculan modernitas baru berkaitan dengan masyarakat beresiko. Masyarakat beresiko sebenarnya dapat dilihat sebagai sejenis masyarakat industri karena kebanyakan resikonya itu berasal dari industri.
Beck menamakan masyarakat baru ini dengan modernitas refleksif . Sebuah proses individualisasi yang kini terjadi di Barat. Yakni, agen-agen semakin bebas dari paksaan struktural dan karenanya semakin mampu menciptakan secara refleksif diri mereka sendiri dan masyarakat dimana mereka hidup. Dengan kata lain, ikatan sosial pun semakin refleksif, dengan demikian ikatan sosial itu dibentuk, dipelihara, dan terus menerus diperbarui oleh individu.
Masalah sentral dalam modernitas klasik adalah kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya dengan lebih merata. Sedangkan masalah sentral dalam modernitas yang lebih maju adalah resiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya. Dalam modernitas klasik, orang mencapai solidaritas dalam mencari-cari tujuan positif persamaan,tetapi dalam modernitas lebih maju, upaya untuk mencapai solidaritas itu ditemukan dalam mencari-cari tujuan menghindari bahaya yang sebagian besar bersifat negatif dan defensif.
C.     McDonaldisasi
Sumber teoritis untuk The McDonaldization of Society adalah karya Weber tentang rasionalitas. Dalam karyanya ini sasaran perhatian semata-mata hanya tertuju pada rasionalitas formal dan pada fakta bahwa restoran cepat-saji (fast-food) mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Dengan demikian, orang dapat menyatakan bahwa sistem rasional formal dimasa hidup Weber adalah sebuah birokrasi, sedangkan restoran cepat-saji kini mencerminkan paradigma yang lebih baik daripada jenis rasionalitas formal ini. Birokrasi, dalam hal ini restoran cepat-saji merupakan contoh lebih baik dari tipe rasionalitas formal ini. Ini secara tak langsung menyatakan bahwa rasionalitas formal masih tetap merupakan komponen kunci kehidupan modern. [5]
Ada empat dimensi atau komponen rasionalitas formal: efisiensi, kemampuan untuk diprediksi, lebih menekankan kuantitas timbang kualitas dan penggantian teknologi nonmanusia untuk teknologi manusia—bentuk rasionalitas inilah yang cenderung menyebabkan ketidakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the irrationality of rationality). Efisiensi, berarti cara yang terbaik untuk mencapai tujuan. Contoh, dalam restoran cepat-saji mengulurkan sajian lewat jendela adalah contoh yang baik dari efisiensi. Kemampuan untu diprediksi, berarti dunia tanpa kejutan. Contoh, Big Mac di Los Angeles tidak dapat dibedakan dengan Big Mac di New York. Lebih menekankan kuantitas timbang kualitas, contoh restoran cepat-saji. Daripada tergantung pada kualitas manusia seorang koki, restoran cepat-saji tergantung pada teknologi nonmanusia seperti koki yang tak terampil yang mengikuti petunjuk ciri dan metode garis perakitan yang diterapkan dalam memasak dan menyajikan makanan kepada pemesan. Sistem rasionalitas formal menimbulkan berbagai ketidakrasionalan, dan yang paling menonjol adalah demistifikasi dan dehumanisasi pengalaman makan.
Selain restoran cepat saji, adapula industri mobil Jepang dan kartu kredit yang dibahas dalam bagian ini. Ketiganya dipandang sebagai bagian dari me-McDonald-kan kehidupan kita, merasionalkan secara formal masyarakat modern. Yang dapat kita simpulkan adalah bahwa ketiga kasus yang disebut diatas menunjukkan bahwa rasionalitasn, dan karena itu modernitas, masih hidup dan sehat dalam kehidupan masa kini. Maka pernyataan bahwa kita telah memasuki kehidupan post-modernisme mungkin belum waktunya atau mungkin keliru.
D.    Alat Konsumsi Baru
Ritzer (1999) belakangan ini telah membahas munculnya “alat konsumsi baru” di Amerika Serikat sepanjang lebih dari setengah abad sejak akhir Perang Dunia II. McDonald dan industri fast-food pada umumnya adalah salah satu dari alat konsumsiyang baru, selain alat-alat lainnya, seperti mall, megamall (Mall of America), cybermall, superstore, hotel-kasino Las Vegas, taman bertemakan ala Disney, dan lain sebagainya.
Konsep arti baru konsumsi diturunkan dari karya Karl Marx. Marx bahyak membahas mengenai konsumsi khususnya dalam karyanya tentang komoditas. Namun, konsep yang digagas Marx dalam menggunakan ide, alat-alat konsumsi bukanlah alat tetapi produk akhir dalam model konsumsinya: mereka adalah barang-barang yang dikonsumsi. Dengan kata lain, dalam karya Marx tidak ada pembahasan mengenai perbedaan antara barang-barang konsumen dengan apa yang kita sebut sebagai alat-alat konsumsi. Misal, mall belanja dan kapal pesiar. Dalam karyanya tidak ada kesejajaran dalam dunia konsumsi dengan peran perantara yang dimainkan oleh alat-alat produksi.[6]
Semua alat konsumsi baru itu adalah modern dalam pengertian bahwa alat-alat itu sebagian besar adalah inovasi baru yang muncul dan berkembang pada paruh akhir abad dua puluh. Seperti McDonald, alat-alat itu sebagian besar inovasi Amerika yang diserbarkan tidak hanya di Amerika melainkan ke seluruh belahan dunia. Alat konsumsi baru adalah bersifat modern dalam pengertiannya yang lebih penting, yakni alat-alat itu sangat rasional atau ter-McDonaldisasi-kan. Baik itu mengenai efisiensi, kalkulabilitas, prediktabilitas, maupun kontrol melalui teknologi nonmanusia, bukannya teknologi manusia.
E.     Teori Globalisasi
Jika diperhatikan secara seksama, banyak pihak yang bersikap optimis bahwa globalisasi akan membawa dampak baik. Mereka yakin bahwa pada saatnya akan ada gejala dimana batasan kultural antar negara di berbagai kawasan dunia akan melebur menjadi kultur baru yang mendunia. Dengan demikian, teori ini memandang akan adanya sebuah imperium kultur global. Sehingga, semakin homogennya batas budaya manusia makan akan membawa kebaikan diantaranya terciptanya perdamaian dunia.
Akan tetapi, sebagian yang lain justru memandang globalisasi sebagai fenomena negatif. Pandangan ini berdasar bahwa pada kenyataannya perubahan struktur dunia tidak membawa homogenitas pada budaya dunia tetapi justru melahirkan dominasi negara adikuasa. Seolah-olah polisi dunia berhak menangkap siapa saja yang tidak sejalan dengan ideologi liberalisme mereka.
Kelompok ketiga justru tidak mempercayai akan adanya perubahan yang sangat spektakuler ini. Menurut mereka, globalisasi adalah sebuah mitos belaka, sebab gejala yang ada sekarang adalah sebuah lanjutan dari gejala sosiokultural masa lampau. Teori ini berasala dari kaum tradisionalis yang merespon globalisasi hanyalah sesuatu yang dibesar-besarkan.[7]
Terlepas dari ketiga pandangan diatas, mari kita lihat abstraksi singkat mengenai globalisasi sebagai fenomena kontemporer. Meanwhile, globalization as a contemporary phenomenon that can not be avoided. It has become a space for the emergence of various alternative approaches to address the scientific challenges of the time in which the boundaries between regions ranging from the regional to the global scope are blurred, as well as theoretical, paradigmatic and conceptual that has shaken confidence in the classical sociology itself, such as a concept of society.[8]
Teori globalisasi juga muncul akibat dari serangkaian perkembangan internal teori sosial, khususnya reaksi terhadap perspektif terdahulu seperti teori modernisasi. Globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik dan isntitusional. Teoritisi yang memfokuskan pada faktor-faktor ekonomi cenderung menekankan arti penting ekonomi dan efeknya yang bersifat homogenizing terhadap dunia. Setelah tinjauan singkat ini, kita beralih ke beberapa ringkasan dari teori-teori globalisasi.
a.       Perspektif Neo-Marxian tentang Globalisasi
Doughlas Kellner memfokuskan pada realitas kapitalisme sekarang dimana teknologi memegang peran yang semakin penting. Kellner mengatakan  bahwa kunci memahami globalisasi adalah menyusun teori tentangnya sebagai produk dari revolusi teknologi sekaligus restrukturisasi global kapitalisme. Meskipun ekonomi kapitalis masih penting untuk memahami globalisasi, teknologi sainslah yang memberikan infrastrukturnya. Jadi, kuncinya terletak pada hubungan dialektis antara tekno-sains dengan ekonomi kapitalis atau tekno-kapitalisme.
Yang merupakan hal penting bagi Kellner dan refleksi dari perspektif pemikirannya adalah pemikirannya tentang internet. Teknologi baru ini dipakai dengan berbagai cara untuk mempromosikan globalisasi kapitalis. Akan tetapi, internet juga dipakai untuk mobilisasi orang-orang yang menentang  globalisasi.[9]
b.      Giddens tentang “Runaway World” dari Globalisasi
Pandanag Giddens tentang globalisasi erat kaitannya dan tumpang tindih dengan pemikirannya tentang modernitas. Giddens melihat kaitan erat antara globalisasi dan resiko, khususnya munculnya apa yang dinamakan manufactured risk. Dia mengakui bahwa globalisasi adalah proses dua arah, dengan Amerika dan Barat sebagai kawasan yang paling banyak terkena pengaruhnya. Ia juga mengakui bahwa globalisasi melemahkan kultural lokal.
Pada akhirnya, Giddens melihat kemunculan “masyarakat kosmopolitan global.” Lebih jauh, fundamentalisme menggunakan kekuatan-kekuatan global (misal media massa) untyk memperluas tujuan-tujuannya. Giddens berpikir bahwa fundamentalisme adalah sebuah problem. Karena fundamentalisme dekat dengan kemungkinan kekerasan dan fundamentalisme adalah lawan dari kosmopolitan.
c.       Beck dan Politik Globalisasi
Esensi dari pemikiran Beck pada isu ini adalah pembeda antara globalisme, globalitas dan globalisasi. Globalisme adalah pandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan kita menyaksikan munculnya hegemoni pasar duni kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Multidimensionalitas dari perkembangan global-ekologi, politik, kultur dan masyarakat sipil direduksi menjadi dimensi ekonomi saja.
Beck melihat lebih banyak kebaikan dalam ide tentang globalitas, dimana ruang-ruang tertutup, khususnya yang diasosiasikan dengan bangsa, semakin ilusif karena globalisasi atau proses-proses yang melalui negara berdaulat yang dilemahkan oleh aktor-aktor transnasional dengan berbagai macam prospek kekuasaan, orientasi, identitas dan jaringan. Proses transnasional ini bukan hanya ekonomi, melainkan juga melibatkan ekologi, kultur, politik dan msyarakat sipil. Globalitas berarti bahwa mulai sekarang tak ajda kejadian di planet kita yang hanya pada situasi lokal terbatas: semua temuan, kemenangan dan bencana mempengaruhi seluruh dunia.[10]
d.      Bauman tentang Konsekuensi Globalisasi Manusia
Bauman(1998)  melihat globalisasi dari “perang ruang”. Dalam pandangannya, mobilitas menjadi faktor penstratifikasi paling kuat dan paling diharapkan di dunia sekarang ini. Jadi, pemenang dari perang rung ini adalah mereka yang mampu bergerak secara bebas ke seluruh dunia dan dalam proses untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri. Contoh: turis yang bisa kemana saja karena mereka menginginkannya, tertarik oleh sesuatu dan mereka tak bisa menolak.
Bagaimanapun, bahkan pemenang dalam globalisasi ini memiliki problem tersendiri. Pertama, terdapat sejumlah beban yang diasosiasiakn dengan ketidakmungkinan. Kedua, mobilitas berarti ragkaian pilihan yang tiada habis. Ketiga, setiap pilihan yang ada membawa rangkaian resiko dan bahaya. Mobilitas tiada akhir dan pilihan tiada ujung akan menjadi tumpukan persoalan-kalau tidak yang tumpukan beban.
e.       Ritzer tentang “Globalization of Nothing”
Ritzer mengatakan bahwa kita menyaksikan globalisasi nothing. Globalisasi cenderung menyebarkan nothing ke seluruh dunia. Maksudnya adalah lebih mudah mengekspor bentuk-bentuk kosong ke seluruh dunia daripada bentuk-bentuk yang penuh dengan isi. Contoh penyebaran global karya seni Disney. Kosong atau nothing disini lebih kecil kemungkinannya berkonflik dengan lokal. Contoh, mall perbelanjan, yang merupakan struktur yang sebagian besar kosong yang mudah di replikasi ke seluruh dunia diisi dengan berbagai isi spesifik tanpa batas (toko lokal, makanan lokal-yakni diisi something). Jadi argumen dasarnya bahwa globalisasi membawa penyebaran nothingness ke seluruh dunia.
f.       “Landscape” Appadurai
Ada lima arus global-ethnoscapes (aktor yang memainkan peran penting dalam pergeseran didunia dimana kita tinggal), mediascapes (distribusi kapabilitas elektronik untuk menyebarluaskan informasi –koran, majalah, televisi, dll- semakin banyak), technoscapes (konfigurasi global dari teknologi baik yang mekanistik dan informasional yang bergerak dengan kecepatan tinggi), financescapes (melibatkan proses dengannya –pasar, bursa saham, komoditas- melalui batas nasional dengan kecepatan tinggi) dan ideoscapes (serangkaian imaji tapi bersifat politis yang secara eksplisit berorientasi merebut kekuasaan).
Penggunaan sufiksnya, -scape membuat Appadurai bisa mengkomunikasikan ide bahwa proses ini berbentuk cair dan tak teratur. Ada dua hal yang secara khusus perlu dicatat tentang landskap Arjun Appadurai. Pertama, landskap-landskap itu dapat dilihat sebagai proses global yang sebagian terlepas dari negara-bangsa manapun. Kedua, arus global mengalir bukan hanya melalui landskap namun semakin meningkat melalui disjungtur diantara mereka.[11]





BAB III
PENUTUP
            Kesimpulan
Modernitas Juggernaut. Anthony Giddens melukiskan kehidupan modern sebagai sebuah “Juggernaut” (panser-raksasa). Namun demikian, meski kita masih didup di era modern, menurut Giddens kehidupan kita ini sangat berbeda dari kehidupan di era teoritisi sosiologi klasik itu.
Masyarakat Beresiko. Anthony Giddens dan Ulrich Beck memiliki penolakan yang sama mengenai gagasan yang menyatakan bahwa kita telah memasuki era post-modern.
McDonaldisasi. Sumber teoritis untuk The McDonaldization of Society adalah karya Weber tentang rasionalitas. Dalam karyanya ini sasaran perhatian semata-mata hanya tertuju pada rasionalitas formal dan pada fakta bahwa restoran cepat-saji (fast-food) mencerminkan paradigma masa kini dari rasionalitas formal. Ada empat dimensi atau komponen rasionalitas formal: efisiensi, kemampuan untuk diprediksi, lebih menekankan kuantitas timbang kualitas dan penggantian teknologi nonmanusia untuk teknologi manusia.
Alat Konsumsi Baru. Ritzer (1999) belakangan ini telah membahas munculnya “alat konsumsi baru” di Amerika Serikat sepanjang lebih dari setengah abad sejak akhir Perang Dunia II. Konsep arti baru konsumsi diturunkan dari karya Karl Marx. Marx bahyak membahas mengenai konsumsi khususnya dalam karyanya tentang komoditas. Dalam karyanya tidak ada kesejajaran dalam dunia konsumsi dengan peran perantara yang dimainkan oleh alat-alat produksi.
Teori Globalisasi, diantaranya yaitu: Perspektif Neo-Marxian tentang Globalisasi, Giddens tentang “Runaway World” dari Globalisasi, Beck dan Politik Globalisasi, Bauman tentang Konsekuensi Globalisasi Manusia, Ritzer tentang “Globalization of Nothing” dan “Landscape” Appadurai yang kesemuanya memiliki bidang masing-masing untuk dikaji.


DAFTAR PUSTAKA
Fansuri, Hamzah, 2012, Globalisasi, Postmodernisme dan Tantangan Kekinian Sosiologi Indonesia, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 2, No. 1, April 2012 ISSN: 2089-0192
Ritzer, George dan Doughlas J. Goodman, 2011, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam, Jakarta: Prenadamedia Group.
Ritzer, George, 2014, Teori Sosiologi Modern Edisi Ketujuh, Jakarta: Prenadamedia Group.
Robet, Robertus, 2016, Modernitas dan Tragedi: Kritik dalam Sosiologi Humanistis Zygmunt Bauman, MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 20(2): 139-157
Setiadi, Elly M., dan Usman Kolip, 2013, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Prenadamedia Group.



[1] Robertus Robet, Modernitas dan Tragedi: Kritik dalam Sosiologi Humanistis Zygmunt Bauman, MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 20(2): 139-157 2016
[2] George Ritzer, Teori Sosiologi Modern Edisi Ketujuh, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014) hlm. 504-50
[3] George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011) hlm. 552
[4] George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Ibid., hlm. 553                                                                                
[5] George Ritzer, Ibid., hlm. 547
[6] George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Ibid., hlm. 567
[7] Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013) hlm. 692
[8] Hamzah Fansuri (Dosen pada Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Bengkulu), Globalisasi, Postmodernisme dan Tantangan Kekinian Sosiologi Indonesia, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 2, No. 1, April 2012 ISSN: 2089-0192
[9] George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Ibid., hlm. 590
[10] George Ritzer, Ibid., hlm. 539
[11] George Ritzer dan Doughlas J. Goodman, Ibid., hlm. 590-599

1 komentar:

  1. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
    Kaos Islami Dakwah

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Hati yang Tulus Tak Bisa Direkayasa

    BalasHapus