Wikipedia

Hasil penelusuran

Rabu, 14 Desember 2016

Permasalahan Dakwah: Studi Kasus Di Singapura



PERMASALAHAN SOSIAL DAKWAH
(STUDI KASUS DI SINGAPURA)
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sosiologi Dakwah
Dosen Pengampu : Ahmad Faqih, S.Ag., M.Si.



Disusun oleh :
Raveno Hikmah I.N.R             (1501046017)
Ahmad Dini Faiza R.              (1501046029)
Ainis Shofwah Mufarriha       (1501046031)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016

B. PERMASALAHAN DAKWAH DI SINGAPURA
a. Minoritas Muslim di Tengah Kehidupan Plural & Sekular
Muslim Singapura–secara politis–tergolong minoritas yang hidup di tengah masyarakat plural dan multi-kultural (Suzaina Kadir, 2004). Sejak kolonialisasi Inggris, keragaman etnis, budaya, dan agama semakin tampak jelas di negara ini sebagai konsekuensi dari lajunya arus migrasi terutama dari etnis Cina (Hefner, 2001). Selain itu, arus modernisasi dan pembangunan yang begitu pesat serta ekonomi global modern yang berlangsung di negara ini memerlukan tenaga kerja yang handal dan profesional di bidangnya. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab lajunya arus migrasi tenaga kerja dari berbagai belahan dunia ke negara ini, sehingga semakin menambah keragaman etnis, budaya, dan agama (pluralitas dan multi-kultural) warga Singapura sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:
Persentase jumlah penduduk Singapura berdasarkan etnis: 1. Cina 74.1%, 2. Melayu 13.4%, 3. India 9.2%, 4. Pakistan, Arab, dll. 3.3%. Jumlah penduduk Singapura berdasarkan pemeluk agama: 1. Budha 33%, 2. Kristen 18%, 3. Tanpa agama 17%, 4. Islam 15%, 5. Taois & Kong Hu Cu 11%, 6. Hindu 5.1%, 7. Lain-lain 0.9% (Sumber: Singapore Department of Statistics, Pers Release: Census of population 2010: Statistical Release on Demographic Characteristics, Education, Language and Religion.)
Dari data diatas terlihat bahwa Muslim hanya 15 persen dari seluruh jumlah penduduk, di mana sekitar 13,4 persen di antaranya adalah etnis Melayu, dan lain-lain sisanya.

Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara Singapura yang Sekular & Multikultural
Singapura dikenal sebagai negara sekular, di mana negara menjadi netral dalam permasalahan agama; tidak mendukung orang beragama maupun tidak. Enyedi, 2003). Agama menjadi urusan pribadi, pemerintah tidak memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur agama setiap individu. Sekularisme Singapura ini ditegaskan oleh Kamaludeen, Here is a society that is determined to be a secular state… Hal yang sama juga disampaikan oleh George Yeo, menteri informasi, komunikasi dan seni: “Singapore ‘s government is secular, but it is certainly not atheistic. Pandangan ini menggambarkan tentang paham sekularisme strategis pemerintah, yang menegaskan bahwa sekular bukan berarti atheis (tidak bertuhan) karena faktanya lebih dari 80% penduduk Singapura menganut agama tertentu. Paham sekularisme pemerintah berimplikasi pada beberapa kebijakan. Misalnya, suara azan yang berfungsi sebagai pengingat dan pemanggil Muslim untuk mendirikan shalat, tidak boleh dikumandangkan melalui loud speaker. Alasannya adalah agar non-Muslim yang mayoritas tidak terganggu. Contoh lain dapat ditunjukkan dari pelarangan memakai jilbab bagi siswi Muslim di sekolah-sekolah pemerintah. Seperti ditegaskan oleh, PM, Lee Hsien Loong, kepada warga Muslim; “Hijab was not part of the school uniforms and effectively banned in institutions of learning. Saat diwawancarai oleh Berita Harian, Malay Newspaper, putra Lee Kuan Yew itu kembali menegaskan bahwa pelarangan jilbab dimaksudkan untuk memelihara integrasi dan keharmonisan sosial. Jilbab dipandang sebagai simbol agama tertentu. Mengizinkan Muslimah memakai jilbab di sekolah akan mengganggu integrasi nasional, karena akan memunculkan persoalan di kalangan siswa lainnya. Larangan yang sama juga dulu pernah diberlakukan kepada para pegawai Muslimah saat mereka bekerja di lembaga-lembaga pemerintah seperti rumah sakit, klinik dan tempat umum lain.
Seperti di negara-negara sekular lainnya, kebijakan pemerintah relatif kurang memperhatikan implikasinya pada pengamalan dan penegakan syiar Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari kebijakan terkait penataan tempat tinggal (New Strait Settelement) (Helmiati, 2011: 212; Hooker, 1998: 170). Karena lajunya arus urbanisasi dan migrasi global, pemerintah telah membangun rumah susun ( dan mewajibkan seluruh rakyat, termasuk warga Muslim untuk tinggal di perumahan yang telah disediakan pemerintah, dengan mengintegrasikan secara proporsional warga yang terdiri dari etnik Cina, India, Melayu, dan sebagainya. Kebijakan ini punya dampak yang besar, khususnya bagi Melayu-Muslim. Mereka yang semula tinggal di kampung tradisional yang homogen dan dapat menikmati kebersamaan dalam menjalankan agama, sekarang jadi tinggal terpencar ke tempat tinggal modern yang terdiri dari berbagai etnik dan agama. Mereka tidak lagi homogen tetapi mesti membaur dengan etnik dan pemeluk agama lainnya. Posisi minoritas kaum Muslim di apartemen-apartemen yang disediakan pemerintah tersebut tidak mendorong terjadinya perhimpunan-perhimpunan keagamaan seperti ketika dulu mereka hidup secara homogen. Mereka yang terbiasa melaksanakan ajaran agama secara berjama’ah, saling tolong dan dapat saling mempererat silaturrahmi, sekarang dengan kebijakan itu menjadi terpencar dan terpecah dari jama’ah yang dulu terbentuk secara alami. Konsekuensinya syiar Islam terasa makin lemah.
b. Negara Singapura yang Maju dan Modern

Dalam sejarahnya, terutama pada abad ke-19 M. Singapura pernah menjadi satu di antara pusat Islam paling penting di Asia Tenggara. Hal itu disebabkan oleh keunggulannya sebagai pintu masuk bagi perdagangan internasional antara Eropa, Timur Tengah, Australia, dan Timur Jauh (Weyland: 219-254). Selain sebagai transit perdagangan, posisinya yang strategis juga telah memungkinkannya menjadi pusat informasi dan komunikasi dakwah Islam, baik pada masa kesultanan Malaka (sebelum kedatangan kolonial Eropa), masa kolonial, sampai pada awal abad ke-20 (Azyumardi Azra, 1994: 203, 271). Peran penting tersebut perlahan-lahan berakhir ketika kekuasaan kolonial semakin kokoh, dan terus berlanjut ketika pada akhirnya Singapura memisahkan diri dari negara federasi Malaysia dan menjadi negararepublik yang merdeka pada tahun 1965; umat Islam menjadi minoritas, selanjutnya komunitasHelmiati: Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara Singapura yang Sekular & Multikultural Muslim yang sebagian besar adalah bangsa Melayu menempati posisi kelas dua di bawah etnis Cina (Suriani Suratman, 2004: 4). Saat ini Singapura menjadi salah satu negara maju di dunia (Singapore Economic Development Board, 2012) dengan pertumbuhan ekonomi yang amat pesat dan jaringan perdagangan yang luas serta memiliki kekuatan militer, pertahanan dan intelijen yang kuat. Dalam bidang ekonomi, negara ini dinobatkan oleh World Bank (2012) sebagai Bussiness environment.
 Negara ini dikenal sebagai salah satu negara dengan kualitas hidup penduduk terbaik di Asia, dan pendapatan per kapita tertinggi di dunia yang menyamai negara-negara kaya di Eropa. The World Economic Forum (2012) yang berkedudukan di Swiss menobatkan Singapura sebagai negara kedua setelah Switzerland dalam kompetisi ekonomi tertinggi di dunia dengan keunggulan-keunggulannya di berbagai bidang. Pujian juga datang dari Economic Intelligence Unit yang menegaskan Singapura sebagai satu dari sepuluh negara dunia yang memegang kendali bisnis global (Rizki Ridyasmara, 2005: 37). Pelabuhannya menjadi pelabuhan tersibuk di dunia. Demikian juga bandar udaranya yang mampu melayani sekurangnya 67 maskapai penerbangan komersial. Sektor pendidikannya dikembangkan untuk dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang ahli sesuai kebutuhan pasar ekonomi global. Seorang warga Singapura yang sempat penulis wawancarai mengatakan: “Mereka (baca:pemerintah) sangat tahu apa yang akan mereka raih sehingga tidak segan-segan merekrut orang-orang yang cerdas dari berbagai negara termasuk Indonesia. Anak-anak cerdas itu disekolahkan dan diberi beasiswa penuh dengan catatan bekerja untuk Singapura setelah menyelesaikan studinya. Gaji yang tinggi dengan segala fasilitas kehidupan yang mapan, telah membuat banyak orang cerdas mengabdi pada negara kecil yang menjadi pusat begitu banyak industri dunia tersebut”.Karena itu tak mengherankan bila Singapura termasuk sepuluh besar negara yang memiliki tenaga kerja yang berkualitas di Asia (Top 10 in Asia for best skilled labour) (IMD, 2013).
c. Pengamalan dan Penegakan Syi’ar Islam di Tengah Pluralitas
Masyarakat plural dan multikultural ditandai oleh keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat. Perbedaan etnis, agama, pola pikir, warna kulit, dan bahasa adalah contoh-contoh keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural. Seperti dikemukakan oleh Furnival (1994), plural sosiety is a society that comprise two or more elements or social orders which live side by side, yet without mingling in one political unit”. Kondisi semacam ini pula yang terdapat di negara Singapura sebagai dampak migrasi global (Tourres, 2003).Tak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman dan perbedaan–termasuk perbedaan agama–menjadi salah satu pembatas antar warga dalam kehidupan sosial. Sepanjang sejarah, agama dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama. Namun di sisi masyarakat beragama bila tidak dapat mengelolanya dengan baik. Untuk itu, menurut Azyumardi Azra: “kehidupan multikultural memang mengharuskan adanya tolak angsur-toleransi dan kemampuan adaptasi dan integrasi dengan seluruh lapisan masyarakat tanpa mengurangi makna agama dan tradisi masyarakat tertentu.” Sikap seperti inilah yang dapat menciptakan harmoni dan kedamaian.
Secara historis, kehidupan multikultural bukanlah sesuatu yang baru bagi kaum Muslim. Sejak masa awal Islam dan lebih khusus lagi pada masa pasca al-Khulafa al-Rasyidun, pertumbuhan kaum Muslim yang begitu cepat di berbagai wilayah dunia sekaligus merupakan pertemuan yang melibatkan berkat kehadiran Islam dan kaum Muslim juga kian multikultural. Realitas ini terlihat kian jelas ketika kekuasaan politik yang melintasi berbagai wilayah budaya berada di tangan kaum Muslimin sejak Dinasti Umaiyah, Abbasiyah di Baghdad dan Andalusia, Usmani, Moghul (Amin, 1975; Hasan, t.th.) dan seterusnya sampai ke Asia Tenggara. Secara teologis, agama senantiasa mengajarkan toleransi, keadilan, perdamaian dan saling menghargai (justice, peace and mutual respect). Ini adalah etika universal yang merupakan bagian dari gagasan multikulturalisme. Etika tersebut merupakan  nilai bersama, yang tidak hanya dimiliki oleh bangsa tertentu, tetapi juga merupakan nilai yang juga diakui dunia. Pembangunan yang dilakukan Singapura selama 48 tahun menuju Singapura yang maju seperti saat ini memberikan perubahan besar pada gaya hidup masyarakat, termasuk kehidupan beragama. Karena itu, Muslim perlu memiliki kemampuan beradaptasi dalam menghadapi perubahan tersebut.Pelaksanaan syiar Islam dan dinamikanya di Singapura tak dapat dipisahkan dari fungsi dan peran penting Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) sebagai lembaga tertinggi pemerintah untuk urusan agama Islam. Institusi yang setingkat kementerian agama di Indonesia ini didirikan sejak tanggal 1 Juli 1968 dan memiliki wewenang dan tanggung jawab atas seluruh aktivitas keagamaan yang berkaitan dengan urusan peribadahan, hukum, perekonomian, kemasyarakatan, pendidikan, dan kebudayaan Islam. Lebih jelasnya, MUIS mempunyai tugas dan fungsi utama sebagaimana berikut:
1. Memberi saran kepada presiden dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan agama Islam.
2. Mengurusi masalah yang berkaitan dengan agama Islam dan kaum Muslimin, termasuk urusan haji
3. Mengelola wakaf dan dana kaum Muslimin berdasarkan undang-undang dan amanah.
4. Mengelola pengumpulan zakat, infak, dan sedekah untuk mendukung dan mensyiarkan agama Islam, atau untuk kepentingan umat Islam.
5. Mengelola semua masjid dan madrasah di Singapura.
Dalam praktiknya, badan resmi milik negara ini melakukan pengawasan terhadap masjid-masjid, memiliki wewenang terhadap kurikulum pendidikan agama, pernikahan, zakat, kurban, dan lain sebagainya. MUIS juga mengawasi khutbah Jumat di setiap masjid untuk memastikan isi khutbah sesuai dengan konsep negara Singapura yang majemuk. Para penceramah yang datang dari luar pun diwajibkan mengurus izin ceramah kepada MUIS, sebelum mereka bisa berceramah di Singapura. MUIS yang menempati gedung megah di 273 Braddel Road, tepatnya di komplek Islamic Centre Singapura juga mengeluarkan fatwa mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari umat Islam Singapura. Selain itu, MUIS juga concern terhadap kehalalan sebuah produk atau cenderung sekular, masalah kehalalan suatu produk menjadi perhatian utama umat Islam Singapura. secara formal telah dimulai sejak tahun 1978, lebih dahulu dibanding dengan Indonesia yang mayoritas Muslim. MUIS sendiri telah mengeluarkan lebih dari produk makanan untuk melayani warga Singapura yang memeluk Islam.Di tengah sistem kehidupan sekular yang diterapkan pemerintah setempat, Muslim Singapura terus berpacu meningkatkan kualitas diri, agar mampu berkompetisi dan menyesuaikan diri dengan lajunya kemajuan teknologi informasi dan perubahan zaman. Sebagai contoh, meski pendidikan formal agama Islam di Singapura–secara umum–mengalami kemunduran, namun perhatian umum terhadap pendidikan Islam non-formal mengalami peningkatan. Banyak orang tua yang mengirimkan anaknya ke sekolah pemerintah atau sekular untuk membekalinya dengan sains dan teknologi, namun tetap membekalinya dengan pengetahuan agama melalui pendidikan non-formal. Pendidikan non-formal dapat diperoleh di masjid. Masjid selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga difungsikan sebagai tempat belajar agama, pengembangan syiar Islam dan tempat pertemuan. Masjid Agung yang menampung sampai 2000 jamaah terletak di pusat kota Singapura, misalnya, menyelenggarakan pendidikan tingkat kanak-kanak, kursus/les untuk siswa kelas dasar dan menengah, kelas agama, bimbingan keluarga, kelas leadership dan pengembangan masyarakat, serta pengajaran bahasa Arab. Singkatnya, kondisi sosio kultural dan sistem politiknya telah mendorong Muslim Singapura untuk memaksimalkan fungsi institusi pendidikan non-formal seperti masjid, madrasah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menegakkan syiar Islam, mengembangkan pendidikan Islam, dan melestarikan peradaban Islam.
Dewasa ini, masjid merupakan sebuah institusi strategis di Singapura. Masjid memiliki program terencana yang dibina oleh Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Tidak seperti yang dipahami selama ini, bahwa masjid hanya sebatas tempat ibadah. Di Singapura, masjid benar-benar berfungsi sebagaimana zaman Rasulullah, yaitu sebagai pusat kegiatan Islam yang diarahkan tidak hanya untuk aktivitas ibadah seperti shalat, baca al-Qur’an, dan wirid pengajian, tetapi juga berfungsi sebagai sentral pendidikan dan pembangunan sosial umat. Masjid di Singapura pada umumnya tidak hanya memiliki ruang tempat shalat saja, tetapi dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk keperluan jemaah. Di ruas kanan dan kiri setiap masjid terdapat ruangan-ruangan kelas untuk belajar agama dan kursus keterampilan. Selain itu, juga terdapat fasilitas lainnya seperti ruang kantor administrasi atau sekretariat pengelolaan masjid, ruang sidang, ruang serba guna atau auditorium, ruang kelas untuk belajar, perpustakaan, kamar jenazah serta ruang untuk aktivitas dan program pembangunan sosial umat (Mohamed Ali Atan, 2005: 2; MUIS, 1986)). Fungsi masjid semacam ini sesungguhnya telah berawal sejak zaman Rasulullah Saw. di mana masjid memiliki multi fungsi, tidak saja sebagai tempat ibadah tetapi juga sebagai markas untuk melakukan segala perancangan untuk kemajuan Islam dan umatnya.Fungsi masjid lainnya adalah sebagai wadah untuk diskusi berbagai masalah kontemporer dan keislaman. Diskusi ini biasanya diadakan oleh organisasi remaja di setiap masjid. Dewan pengurus setiap masjid juga menerbitkan media (majalah dan buletin) sebagai media dakwah dan ukhuwah sesama Muslim. Berbeda dengan di negara lainnya, para pengurus masjid digaji khusus, dan memiliki ruangan pengurus eksekutif layaknya perkantoran modern.Kebanyakan masjid memiliki aktivitas, kreativitas, dan pandangan jauh ke depan dalam memberikan layanan terhadap kebutuhan umat (Mohamed Ali Atan, 2005: 5). Masjid di Singapura telah memberikan banyak sumbangan dalam memenuhi keperluan sosial masyarakat Muslim di sana, terutama dalam membentuk kehidupan beragama umat. Setiap Muslim mendapat pembangunan diri yang sesuai dengan golongan usia mereka. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga tantangan yang dihadapi, baik oleh pihak masjid maupun setiap anggota masyarakat dalam membentuk jati diri Muslim (Anon, 2009: 4).
Institusi masjid menjadi “jantung dan nadi” masyarakat Muslim Singapura. Karena itu, masjid dibangun di setiap komplek perumahan untuk memudahkan mereka menangani isu dan pembangunan sosio-agama umat. Saat ini di Singapura terdapat lebih dari 70 masjid. Selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan agama, MUIS memiliki wewenang penuh terhadap manajemen institusi masjid, namun demikian, MUIS tidak turut campur secara nyata dalam aktivitas yang diselenggarakan oleh pihak masjid, melainkan hanya memantau aspek manajemen dan hal-hal penting saja (MUIS, 2005a: 14). Lembaga pendidikan Islam (madrasah) dikelola secara modern dan profesional, dengan kelengkapan perangkat keras dan lunak. Dari seluruh madrasah Islam (sebanyak enam buah yang seluruhnya di bawah naungan MUIS), sistem pendidikan diterapkan dengan memadukan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Keenam madrasah itu adalah Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiah, Madrasah Al-Maarif Al-Islamiah, Madrasah Alsagoff Al-Islamiah, Madrasah Aljunied Al-Islamiah, Madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah, dan Madrasah Wak Tanjong Al-Islamiah. Waktu penyelenggaraan belajar mengajar dimulai dari pukul 08.00 hingga 14.00. Lama waktu ini juga berlaku di sekolah-sekolah umum dan non-madrasah. Agar tidak ketinggalan dengan kemajuan teknologi, maka di setiap madrasah dibangun laboratorium komputer dan internet, serta sistem pendukung pendidikan audio converence.
Selain dilengkapi fasilitas internet, setiap madrasah juga mempunyai server tersendiri bagi pengembangan pendidikan modern. ”Murid dibiasakan dengan teknologi terutama teknologi internet. Setiap hari, mereka diberi waktu dua jam untuk aplikasi dan pemberdayaan internet,” jelas Mokson Mahori, Lc, guru di madrasah Al-Junied Al- Islamiyah. Sayangnya, pendidikan Islam baru ada dalam institusi TK hingga madrasah Aliyah (SMU). Untuk perguruan tingginya hingga kini belum ada. Manajemen yang sama juga diterapkan dalam pengelolaan masjid.
Keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat Islam (LSM) juga tak kalah pentingnya dalam upaya menjadikan komunitas muslim negeri itu potret yang maju dan progresif. Berbagai LSM Islam yang ada terbukti berperan penting dalam agenda-agenda riil masyarakat Muslim. Saat ini, tidak kurang dari sepuluh LSM, di antaranya adalah: Association of Muslim Professional(AMP), Kesatuan Guru-guru Melayu Singapura (KGMS), Muslim Converts Association (Darul Arqam), Muhammadiyah, Muslim Missionary Society Singapore (Jamiyah), Council for the Development of Singapore Muslim Community (MENDAKI), National University Singapore (NUS) Muslim Society, Perdaus (Persatuan Dai dan Ulama Singapura), Singapore Religious Teachers Association (Pergas), Mercy Relief(Center for Humanitarian), International Assembly of Islamic Studies (IMPIAN), dan Lembaga Pendidikan al-Qur’an Singapura (LPQS).
Seluruh lembaga dan sistem manajemen profesional ini ditujukan bukan saja pada terbentuknya kualitas Muslim dan komunitas Islam yang maju, moderat dan progresif, tetapi juga potret yang mampu berkompetisi dan meningkatkan citra Islam di tengah pemandangan global yang kurang baik saat ini. Model demikian inilah yang kini terus diperjuangkan agar Islam yang rahmat menjelma dalam kehidupan masyarakat Singapura. Profesionalisme dalam Pengelolaan ZakatDimensi perkembangan Islam lainnya yang menarik adalah terkait profesionalisme dalam pengelolaan zakat, infaq, sedekah, dan wakaf pemberdayaan potensi dan peningkatan kualitas umat bukan hanya terlihat pada pengelolaan pendidikan (madrasah), masjid, dan lembaga-lembaga swadaya Islam non-pemerintah (NGO).
Profesionalisme tersebut juga tampak jelas dalam pengelolaan Divisi Pembangunan Agama dan Penelitian, Majlis bagi pemerataan dan kesejahteraan umat Islam. ”Pemberdayaan amanat agama ini tidak akan mencapai target maksimal jika tidak dikelola secara MUIS sendiri sebagai lembaga tertinggi pemerintah untuk urusan agama Islam bertanggung jawab dan terlibat langsung dalam pengelolaan pelaksanaannya. Sistem manajemen profesional MUIS ini telah diterapkan lebih dari 15 tahun terakhir. manual, dengan cara pergi ke tempat penyaluran atau lembaga yang dipercaya, tapi sejak dua tahun terakhir pembayarannya dapat dilakukan melalui sistem on-line, seperti manajemen bank. Dengan cara demikian akan diketahui seluruh dana yang terhimpun saat itu juga. Sementara untuk wakaf, telah 10 tahun lebih dikelola dengan sistem
wakaf produktif. Harta benda dari wakaf dikelola dengan asas manfaat, bukan lagi untuk pembangunan masjid atau kuburan, sebagaimana di Indonesia. Misalnya, dana wakaf dipakai untuk pembangunan real estate atau supermarket atau usaha lainnya yang menguntungkan. Keuntungannya kemudian dipakai lagi untuk pengembangan Islam. Berkaitan setiap tahunnya terkumpul berkisar 18-20 juta dolar Singapura (sekitar 10 juta dolar AS). Khusus pegawai di MUIS, digaji dari dana zakat tersebut. Sementara itu, dana bagi pengembangan masjid dan madrasah, ada kasnya sendiri. Tidak lagi madrasah ada kotak bernama ”Dana Madrasah”. Sedangkan dana masjid diperoleh dari sumbangan kaum Muslim, khususnya kotak Jumat. Meski juga
d. Menjaga Kohesi Sosial di Tengah Pluralitas Agama
Muslim Singapura secara politis tergolong minoritas yang hidup di tengah masyarakat plural, yang terdiri dari berbagai macam etnis, agama, dan budaya (Suzaina Kadir, 2004). Keanekaragaman pada kelompok masyarakat bila tidak mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan baik. Seperti dikemukakanHelmiati: Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara Singapura yang Sekular & Multikultural. Perjumpaan antara yang berbeda, sering terjadi tidak secara akrab. Saling sering tak bisa dihindari. Tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan-perbedaan ini–termasuk perbedaan agama–menjadi salah satu pembatas antar warga dalam kehidupan sosial. Sebagai contoh sederhana, Muslim misalnya tidak akan makan di restoran China yang non-Muslim karena khawatir terkontaminasi oleh babi dan zat-zat lain yang haram dalam pandangan Islam. Namun demikian, dalam konteks Singapura, Muslim yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang sekular dan multikultural, sampai tahap-tahap tertentu nampak mampu beradaptasi dan berintegrasi dengan seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu contoh menarik adalah sikap Muslim pada acara jamuan makan dengan rekan-rekan sewarganya yang non-Muslim. Mengingat jumlah Muslim hanya 15% dari seluruh jumlah penduduk, maka jamuan makan bersama dengan rekan-rekannya yang non-Muslim menjadi sesuatu yang sulit dielakkan. Hal semacam ini bisa jadi menempatkan seorang Muslim pada kondisi yang rumit dan dilematis, terutama bila nilai-nilai dan ajaran agama Islam diperhadapkan dengan nilai-nilai dan praktik kosmopolitan. Mengingat Islam mengatur tentang makanan yang halal dan haram untuk dikonsumsi seperti khamar, anjing, babi, darah, dan bangkai yang diharamkan karena zatnya, juga ada makanan yang diharamkan karena suatu sebab yang bukan berkaitan dengan zatnya seperti daging hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Maka dalam kondisi semacam itu, pertanyaannya adalah apakah Muslim akan menghindari jamuan makan antar budaya tersebut, dan sikap apa yang mereka ambil dalam kondisi semacam itu? atau mereka mengatur strategi sehingga dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi di mana mereka berada tanpa melanggar ajaran agama? Berdasarkan hasil penelitian yang mewawancarai 20 orang warga Muslim yang dipandang saleh dan taat menjalankan agama, maka secara umum jawaban mereka adalah bukan menghindari jamuan makan tersebut dengan bersikap ekslusif dan menghindari interaksi antar budaya, melainkan mencari dan mengatur strategi mempertahankan diri untuk tetap patuh pada ajaran agama sementara tetap begabung bersama mereka dalam interaksi sosial (Kamaludeen Mohamed Nasir, 2008). Ini menunjukkan bahwa mereka nampak memiliki visi pluralisme dan wawasan multikultural yang ditandai dengan kesadaran dan pengakuan serta sikap menerima akan adanya keragaman.
Hal ini terindikasi dari sikap dan pemikiran yang memberi tempat bagi kehadiran ”the other” dalam pergaulan publik, adanya sikap toleran, saling menghargai, saling membantu, dan kemampuan bekerjasama dengan sesama. Dalam contoh lain di mana azan tidak diperbolehkan menggunakan loud speaker misalnya, sikap mereka adalah menerima kebijakan tersebut dan sebagai solusinya azan diperdengarkan melalui radio. Penerimaan semacam ini merupakan wujud nyata dari sikap toleran mengingat adanya “the other” yang terganggu karena suara azan tersebut. Selain itu, sikap toleran dan menghargai dari warga Muslim juga terlihat pada penerimaan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang memindahkan komunitas Muslim–yang dulu tinggal di satu kampung sehingga memungkinkan mereka untuk menjalankan agama secara berjamaah–ke rumah-rumah susun yang di situ terintegrasi dan terasilimilasi dengan non-Muslim. Sikap penerimaan mereka juga terlihat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memasukkan pelajaran agama dalam kurikulum sekolah. Solusi yang diambil kemudian adalah dengan mengoptimalkan dan mengintensifkan pembelajaran agama di masjid, madrasah, dan melalui LSM. Sikap semacam ini adalah wujud nyata dari visi pluralisme dan multikulturalisme. Sikap ini bukanlah berarti bahwa mereka mengalah dan lemah, tetapi dipandang sebagai artikulasi dari kesalehan dan pengamalan Islam.
Seperti dikemukakan oleh Hussin Mutalib:…being Islamic indeeds also implies being loyal and patriotic to the country, and progressive and inclusive in dealing with fellow citizens. Muslim know very well that their religion requires them to live a live of moderation (ummatan wasathan), to confront all challenges and problems with hard work and wisdom (hikmah), to look to the future with optimism –and leave the rest to Him (tawakkal), hoping for a happy ending (husnul khatimah).
e. Harmony Centre Masjid An-Nahdhah
Masjid An-Nahdhah, terdapat Harmony Centre yang digagas oleh MUIS untuk mempromosikan dan mendorong terwujudnya masyarakat Singapura yang saling memahami dan menghormati keanekaragaman ras dan agama mereka. Para pengunjung disuguhi rangkaian informasi tertulis, bergambar, dan audio-visual tentang Islam dari berbagai aspek. Di Pusat Harmoni ini, pokok-pokok ajaran, sejarah, maupun kontribusi Islam dan penganutnya pada peradaban dunia dapat diketahui hanya dalam kurun waktu kurang dari satu jam.
Pandangan sebagaimana dikemukakan di atas membuat Islam di Singapura menemukan identitasnya (bentuk pengamalan agama) dan formulasi respon terhadap tantangan modernitas dan sekularitas negara sesuai dengan konteks lokalnya. Formulasi respon tersebut secara implisit tergambar pada etos sepuluh ciri masyarakat Islam cemerlang yang mereka rumuskan sebagaimana berikut ini:
1. Berpegang teguh pada prinsip Islam dan dapat menyesuaikan diri dengan konteks yang berubah.
2. Menghayati peradaban dan sejarah Islam dan berupaya memahami isu-isu kontemporer.
3. Menghargai peradaban lain, percaya diri untuk berinteraksi dan bersedia belajar dari masyarakat lain.
4. Mempunyai moral yang tinggi dan sifat kerohanian yang utuh serta mampu mengatasi tantangan kehidupan masyarakat modern.
5. Progresif, mengamalkan Islam lebih sekadar ritual/bentuk dan dapat menyesuaikan diri dengan arus modernisasi.
6. Dapat menyesuaikan diri sebagai golongan yang memberi sumbangan dalam masyarakat multikultural dan negara secular
7. Tidak menyisihkan diri dan menerima kehidupan plural tanpa mengabaikan prinsip dan nilai.
8. Percaya bahwa Muslim yang baik adalah rakyat yang baik.
9. Membawa kesejahteraan kepada semua dan menggalakkan nilai dan prinsip universal.
10.   Islam dijadikan sebagai sebuah penawar dari proses disorientasi dan dislokasi serta sebagai saluran arus balik dari semua bentuk gaya hidup dan ideologi sekular di era modern.
Islam bertahan dan selalu hadir dalam berbagai bentuk masyarakat dan gelombang perubahan sosial. Islam bisa hadir dalam wujudnya yang paling konservatif dan tradisonal sekaligus yang paling modern dan Dalam konteks modernisasi, Islam telah ber-peran penting sebagai “spiritual bodyguard” atas kepahitan-kepahitan pembangunan dan alienasi masyarakat modern. Dengan kata lain, ketimbang menggiring pada proses sekularisasi, modernisasi justru telah menjadi fasilitator dan pendorong membuihnya busa-busa spiritual masyarakat Islam termasuk di Singapura.[1]



[1] Helmiati, Dinamika Islam Singapura: Menelisik Pengalaman Minoritas Muslim di Negara Singapura yang Sekular&Multikultural. Toleransi, Vol. 5 No. 2 Juli-Desember 2013.

1 komentar:

  1. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
    Kaos Islami Dakwah

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Hati yang Tulus Tak Bisa Direkayasa

    BalasHapus