DAKWAH NABI MUHAMMAD PERIODE MADINAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Dakwah
Dosen Pengampu: Agus Riyadi, M.S.I
Disusun oleh :
Yessi Anggraeni Novalita D. (1501046030)
Ainis Shofwah Mufarriha (1501046031)
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dalam kehidupan kaum muslimin, sejarah mengenai
Nabi Muhammad memiliki nilai dan arti yang amat penting dalam perkembangan
Islam. Baik yang menceritakan kehidupan beliau, keluarga, sahabat, serta
konsiostensi beliau dalam menyebarkan dakwah di muka bumi ini. Terlebih lagi
Nabi Muhammad sendiri adalah seorang utusan Allah yang merupakan manusia
terbaik dan teladan bagi seluruh umat.
Kegiatan mempelajari, menelaah dan mengeksplorasi
sejarah mengenai kehidupan Rasulullah sejatinya adalah suatu hal yang dapat
menambah pengetahuan dan kecintaan kita kepada Nabi Muhammad. Mulai dari
bagaimana beliau menjalani hidup, menata hidup, dan memposisikan diri dalam
kehidupan yang merupakan suri tauladan bagi kita di kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya itu, masih banyak hal lain yang bisa
didapatkan ketika kita mempelajari sejarah perjuangan Rasulullah bersama
sahabat beliau dalam menyebarkan Islam di bumi ini. Kebijakan, strategi,
kesabaran dan kebijaksanaan beliau dapat menjadi panutan bagi setiap muslimin
dalam mengambil keputusan baik dalam kehidupan sehari-hari ataupun pada saat
berdakwah.
Atas dasar pentingnya mempelajari sejarah
perjuangan Nabi Muhammad, kami ingin mengangakat kisah mengenai perjuangan
dakwah beliau di Madinah yang kami harap dapat menambah pengetahuan pembaca dan
memupuk spirit dakwah kita semua sebagaimana yang dicontohkan Nabi untuk
mengembalikan kejayaan Islam pada masa lampau. Mulai dari pembahasan mengenai persiapan
hijrah dan alasan nabi memilih kota Madinah sebagai tempat hijrah, strategi
dakwah yang beliau laksanakan dan juga hambatan yang ditemui Nabi Muhammad
dalam memperjuangkan Islam, yang semuanya akan kami jabarkan pada bab
pembahasan.
2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana persiapan hijrah dan
penentuan Madinah sebagai daerah hijrah?
2.
Apa saja substansi dan strategi
dakwah yang Rasulullah lakukan?
3.
Apa sajakah hambatan yang
ditemui Nabi dalam mensyiarkan islam di Madinah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Madinah (Yatsrib) Sebagai Daerah Tujuan Hijrah
Hijrah bukanlah rekreasi atau tamasya yang dapat menyenangkan
hati manusia. Akan tetapi, hijrah adalah meninggalkan tempat kelahiran,
keluarga, sahabat, serta tempat usaha yang dicintai. Oleh karena itu, Nabi
mempersiapkan semuanya dengan matang yang dilakukan dalam dua arah;
mempersiapkan orang yang berhijrah dan mempersiapkan tempat berhijrah.
Diantara hikmah Allah menetapkan Madinah sebagai
tempat hijrah adalah posisinya yang memiliki benteng tempur secara alamiah,
tidak disesaki oleh kota-kota terdekat lain dan memiliki kotur tanah yang
sesuai untuk perang. Para penduduk Madinah yaitu suku Khazraj dan Aus adalah
orang-orang yang berjiwa tegar, ksatria, dan menjunjung harga diri serta
kehormatan. Diantara keutamaan Madinah: 1.) Kecintaan dan doa Rasulullah untuk
Madinah. 2.) Doa Rasulullah agar Madinah mendapat keberkahan dua kali lipat
dari Makkah. 3.) Madinah steril dari Dajjal dan wabah Tha’un. 4.) Tanah suci.
5.) Allah menjaganya dari tangan-tangan jahat, dan masih banyak lagi.[1]
Setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, suatu
perkembangan besar bagi kemajuan dakwah Islam terjadi. Permulaan yang
menguntungkan itu terjadi pada musim haji pada tahun ke-10 kenabian. Yaitu
dengan kedatangan orang-orang dari suku Khazraj di dekat Aqabah di kawasan
Mina. Mulanya, Nabi meminta kepada mereka untuk berbicara sebentar dan mereka
menerima dengan senang hati karena Nabi pun tidak meminta dengan paksaan. Jumlah
mereka ada enam orang, yaitu Abu Umamah, As’ad bin Zurarah, Auf bin Al-Harits
dari bani Najjar, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin Amir dan Uqbah bin Amir serta Jabir
bin Abdillah bin Riab. Merekapun duduk bersama Nabi Muhammad lalu mulailah
beliau berdakwah dan mengajak mereka ke jalan yang diridhoi Allah serta
membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Atas izin Allah, sekelompok tersebut serta
merta menerima seruan Islam itu. Malah, mereka bersedia mengajak para penduduk
lain untuk beriman sekembalinya mereka ke Yatsrib.
Ketika mereka tiba di Yatsrib, mereka langsung
menemui kaumnya dan menyebutkan tentang Rasulullah, mengajak kepada Islam
hingga tersebar dikalangan mereka. Inilah awal mula perintis tersebarnya Islam
di Yatsrib. Kemudian pada tahun ke-12 kenabian atau tahun 621 M, datanglah
kembali perwakilan dari suku Aus dan Khazraj karena mereka benar-benar
merindukan perdamaian. Mereka berjumlah 12 orang yang terdiri dari 10 orang
suku Khazraj dan 2 orang suku Aus serta seorang wanita. Mereka menemui Nabi di suatu
tempat bernama Aqabah dan menyatakan kesetiaan mereka yang kemudian disebut
dengan “Baiat Aqabah Pertama”. Rombongan ini kemudian kembali ke Yatsrib
sebagai juru dakwah disertai Mush’ab bin Umair yang diutus Nabi untuk berdakwah
bersama mereka.
Pada tahun ke-13 kenabian atau tahun 622 M,
mereka datang kembali kepada Nabi dengan jumlah yang fantastis yaitu 73 orang
laki-laki dan 2 orang perempuan. Atas nama penduduk Yatsrib, mereka meminta
kepada Nabi agar berkenan pindah ke Yatsrib dan mereka berjanji akan membela
Nabi dari segala ancaman. Perjanjian ini disebut “Baiat Aqabah Kedua”. Pertemuan
diantara Nabi dan delegasi Yatsrib ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi pada
saat melaksanakan haji di pertengahan hari Tasyriq. Nabi datang bersama Abbas
bin Abdul Muthalib yang mana pada saat itu masih memeluk agama kaumnya akan
tetapi ingin mendukung keponakannya yang tak lain adalah Nabi Muhammad yang ingin
melakukan hijrah ke Yatsrib. Sebab itulah Abbas ingin memastikan perlindungan
kaum Anshar.[2]
Kita perhatikan, pada saat pertama Rasulullah
tidak tergesa-gesa untuk segera hijrah ke Yatsrib, namun beliau menunggu hingga
2 tahun lamanya sampai dapat memastikan basis yang relatif luas dan memastikan
persiapan kaum Anshar telah mencapai puncaknya yang terbukti pada Baiat Aqabah
Kedua.
Ketika kaum musyrikin mengetahui bahwa kaum
Anshor telah dibaiat oleh Nabi Muhammad, amarah kaum musyrikin semakin
bergejolak, mereka semakin meyakiti kaum muslimin. Nabi pun mengizinkan kaum muslimin
untuk hijrah ke Yatsrib dengan tujuan utama untuk mendirikan negara Islam dan
mengemban tugas dakwah dan berjuang dijalan Allah hingga tidak terjadi lagi
penyiksaan dan intimidasi. Pada saat kaum muslimin hendak menuju ke Yatsrib,
orang-orang Quraisy memarahi mereka, memerangi dan mengamuk kepada
pemuda-pemuda mereka yang ikut serta hijrah.
Semua kaum muslimin, kurang lebih 150 orang hijrah
ke Yatsrib, tidak ada yang tersisa di Makkah kecuali Abu Bakar, Ali bin Abi
Thalib, serta orang-orang gila, sakit, atau tidak berdaya untuk ikut keluar.
Mereka berdua tetap tinggal untuk menemani Nabi karena kaum Quraisy berencana
akan membunuh Nabi. Sahabat Rasulullah pertama yang datang ke Yatsrib adalah
Abu Salamah bin Abdul Asad lalu disusul oleh Amir bin Rabi’ah bersama istrinya
dan mereka tinggal di rumah-rumah kaum Anshar. Kaum Anshar pun memberikan
mereka pertolongan dan perlindungan. Ketika orang pertama yang berhijrah telah
sampai di Quba, kaum Anshar langsung bergegas pergi ke Makkah untuk memberi
tahu Nabi.[3]
Setelah kaum Quraisy gagal menghalangi para
sahabat Nabi untuk hijrah ke Yatsrib, selanjutnya mereka berencana membunuh
Nabi yang pada saat itu masih berada di Makkah. Maka Allah memberitahu rencana
itu kepada Nabi-Nya yang kemudian Ali bin Abi Thalib bertugas menggantikan Nabi
di tempat tidur beliau pada malam tersebut. Kemudian hijrahlah Nabi bersama Abu
Bakar dan gagallah rencana pembunuhan tersebut. Kaum Quraisy mengikuti jejak
Nabi namun hanya sampai pada gua Tsur. Mereka berpikir bahwa tidak mungkin Nabi
bersembunyi di gua yang terdapat jaring laba-laba di mulut guanya. Di gua itu,
Rasulullah bersembunyi didalamnya selama tiga malam.
Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya
lima kilometer (tetapi sumber lain menyebutkan kurang lebih sepuluh kilometer) dari
Yatsrib, Nabi beristirahat beberapa hari lamanya dirumah Kulsum bin Hindun dan
dihalaman rumah ini Nabi membangun masjid pertama yang diberi nama Masjid Quba
tepat pada 12 Rabiulawwal tahun 1 Hijriah / 24 September 622 M. Tak lama
kemudian, Ali menyusul seteah menyelesaikan segala urusan di Makkah. Sementara
itu, penduduk Yatsrib menunggu-nunggu kedatangan Nabi dan menyambut kedatangan
Nabi dengan penuh kegembiraan. Sebagai penghormatan, nama kota Yatsrib dirubah
menjadi Madinatun Nabi (Kota Nabi) atau sering pula disebut Madinatul
Munawwarah (Kota yang Bercahaya) yang dalam sehari-hari lebih sering
disebut Madinah saja.[4]
B.
Substansi dan Strategi Dakwah Rasulullah
Setelah tiba dan
diterima penduduk Madinah, babak baru dalam dunia Islam pun dimulai. Pada periode
Madinah, Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam yang berkenaan dengan
kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Hal ini karena Nabi mempunyai
kedudukan buakan saja sebagai kepala agama, namun juga sebagai kepala negara.
Dengan kata lain, terkumpullah dua kekuasaan yaitu sebagai rasul dan sebagai
kepala negara.
Oleh karena itu,
dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru tersebut, Nabi mulai
mengembangkan strategi dakwahnya melalui peletakan dasar-dasar kehidupan
bermasyarakat.
a.
Membangun Masjid Agung di
Madinah
Bahwa ketika
Rasulullah sampai di Madinah dengan menunggangi untanya, unta tersebut berhenti
dan menderum di sebuah tempat pengeringan kurma milik Sahal dan Suhail, dua
pemuda yatim yang dalam asuhan Sa’ad bin Zurarah. Kemudian rasul memutuskan
bahwa tempat tersebut akan didirikan rumah. Ketika Rasulullah menanyakan
harganya, dua pemuda tersebut malah ingin memberikannya secara gratis kepada
Rasulullah. Namun Rasul menolak sampai akhirnya kedua pemuda tersebut bersedia
menjualnya. Dalam kawasan itu terdapat pohon kurma, kuburan orang musyrik dan
reruntuhan bangunan, maka Rasul meminta kepada sahabat untuk membersihkan
tempat tersebut dan Rasul pun ikut membersihkannya.
Kemudian dibangunlah
masjid dengan fondasinya sedalam tiga hasta, adonannya terbuat dari susu dan
tanah (layaknya semen), atap dan jendelanya terbuat dari daun dan pelepah
kurma, dan pintunya terdiri dari tiga bagian, yang akhirnya masjid tersebut
diberi nama Masjid Nabawi. Bagian belakang masjid (Ash-Suffah) dipergunakan
untuk tempat berlindung dan rumah bagi mereka yang belum mendapat tempat
tinggal.
Telah dibangun disebelah masjid
tersebut rumah Rasulullah yang sangat sederhana untuk tempat tinggal Rasul dan
keluarganya, yang kamarnya menyatu dengan masjid, atapnya terbuat dari daun
kurma dan dapat dijangkau tangan anak
kecil, amat sederhana.
Fungsi
masjid itu sendiri yaitu:
·
Sebagai pusat peribadatan dan
penyampaian ajaran Islam dan tempat menimba ilmu seluruh umat. Disinilah beliau
bertindak sebagai hakim.
·
Tempat bermusyawarah dengan
para sahabat dan tempat berkumpulnya kaum muslimin.
·
Pusat pemerintahan dalam bidang
militer, sipil dan penyebaran berita.
·
Sebagai rumah sakit bagi
tentara yang terluka dalam perang.
·
Tempat tinggal penghuni Shuffah
ataupun orang asing yang dalam perjalanan.
·
Sabagai tempat kontrol
masyarakat muslim dan dapat mengetahui gerakan-gerakan musuh.
Di awal masa hijrah, telah disyari’atkan azan;
suara lantunan yang keras yang menggema di angkasa lima kali sehari yang
menjadikan seluruh alam nyata ikut menggema, untuk memberitahu kepada seluruh
umat manusia bahwa telah masuk waktu shalat. Diantara yang berpendapat dengan
mengangkat bendera, menyalakan api di dataran tinggi, ataupun membunyikan
lonceng yang kesemuanya itu adalah adat kaum musyrikin. Akhirnya dipilihlah adzan
sesuai mimpi Abdullah bin Zaid Al-Ansari dan Umar bin Khattab, dan terpilihlah
Bilal sebagai juru adzan di Madinah karena menurut Rasulullah Bilal lah yang
bersuara keras. Dan di masjid inilah Rasulullah pertama kali melaksanakan
khutbah.[5]
b.
Penegakan Ukhuwah Islamiyah
Selanjutnya, Nabi
mempersaudarakan golongan Muhajirin dan golongan Anshar. Persaudaraan berdasar
agama, menggntikan persaudaraan berdasarkan darah. Persaudaraan ini sebagai
sebuah ikatan yang kuat untuk melepaskan perbedaan-perbedaan yang ada antar dua
kelompok tersebut. Pembentukan sebuah masyarakat yang memegang teguh agama
Allah, tidak hanya sebatas ucapan, mereka menyatukan secara beriringan antara
iman dan amal, bahkan hingga Rasulullah wafat, persaudaraan tersebut tetap
terjalin. Sahabat-sahabat Nabi banyak yang menjalin tali persaudaraan dengan
kaum Anshar seperti Abu Bakar dengan Kharijah bin Zuhair, Umar bin Khattab
dengan Itban bin Malik dan masih banyak lagi.[6]
c.
Pembuatan Piagam Perjanjian
(Piagam Madinah)
Disamping melakukan
akad mempersaudarakan sesama orang beriman, Rasulullah juga membuat akad
perjanjian yang mampu menyingkirkan lumut-lumut jahiliyyah dan konflik antar
kabilah dengan menciptakan toleransi antara kaum muslimin dan kaum nonmuslimin.
Beliau juga membahas batasan hak dan kewajiban. Beliau mengatur etika hubungan
antar penduduk Madinah dan menjadi keharusan untuk mentaatinya bagi penduduk
Madinah, yang kemudian disebut sebagai Piagam Madinah.
Piagam ini merupakan
dokumen yang disusun oleh Nabi yang merupakan suatu perjanjian formal antara
Bani Aus, Bani Khazraj, kaum Yahudi, komunitas penyembah berhala dan suku-suku
di Yatsrib. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya yang terdiri dari 47
pasal seputar pembentukan umat, persatuan seagama, peraturan segenap warga
negara, tugas warga negara, perlindungan negara, pimpinan negara dan politik
perdamaian.[7]
d.
Meletakkan Dasar-dasar Politik,
Ekonomi dan Sosial untuk Masyarakat Baru
Ketika masyarakat
Islam terbentuk maka diperlukan dasar-dasar
yang kuat bagi masyarakat yang baru tersebut. Oleh karena itu, ayat-ayat
Al-Qur’an yang turun pada periode utama ditujukan kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat
ini kemudian diberi penjelasan oleh Rasulullah baik dengan lisan maupun dengan
perbuatan langsung beliau sehingga terdapat dua sumber hukum dalam Islam, yaitu
Al-Qur’an dan hadis. Dari kedua sumber hukum Islam tersebut didapatkan suatu
sistem untuk bidang politik, yaitu sistem musyawarah. Dan untuk bidang ekonomi
dititik beratkan pada jaminan keadilan sosial, serta dalam bidang
kemasyarakatan diletakkan pula dasar-dasar
persamaan derajat antar manusia. Bahwa yang menentukan derajat seseorang
adalah ketaqwaannya.[8]
C.
Hambatan yang Ditemui Rasulullah Ketika
Mensyiarkan Islam di Madinah
a.
Upaya Kaum Yahudi untuk
Memecah-belah Front Internal
Diantara cara mereka yang keji dalam memerangi
Islam adalah dengan memecah-belah barisan kaum muslimin dan menghancurkannya
dari dalam. Salah satu pemuka mereka yang sudah tua melakukan tipu muslihat
yang bertujuan memecah-belah kaum Anshar dengan cara menyebarkan fanatisme
golongan diantara mereka, agar kembali kepada kejahiliyahan mereka. Muhammad
bin Ishaq menuturkan melintaslah pemuka yahudi yang sudah lanjut usia yang amat
membenci persatuan kaum muslimin dan mulailah ia menyuruh pemuda yahudi untuk
mengejek kaum muslimin. Dia mengungkap kembali api dendam yang menyebabkan tiap
suku saling membanggakan sukunya msing-masing. Kemudian melompatlah dua
laki-laki dari kedua suku diatas kuda, dan akhirnya hampir meletuslah
peperangan antara suku Aus dan Khazraj.
Maka sampailah
berita ini kepada Rasulullah dan beliaupun langsung menyadarkan masing-masing
suku, bahwa hal tersebut hanyalah akan membawa mereka kembali ke zaman
jahiliyah. Mereka luluh akan perkataan Rasulullah. Kedua pemuda tersebut
tersadar dan menangis menyadari kesalahan mereka, dan turunlah Q.S. Ali Imran
ayat 100-105.[9]
b.
Kaum Yahudi Menyerang Dzat
Allah
Ketika itu, Abu
Bakar melihat banyak orang berkerumun dihadapan seorang laki-laki bernama
Finhash, seorang pendeta. Bersamanya, terdapat pemuka dan pendeta lainnya. Abu
Bakar menyeru kepada mereka untuk bertaqwa kepada Allah, namun mereka
menyangkalnya seraya berkata “Demi Allah, wahai Abu Bakar, kami bukanlah orang yang
membutuhkan Allah. Akan tetapi Dia lah yang membutuhkan kami. Jika memang Dia
kaya, mengapa Dia meminjam harta-harta kami, sebagaimana prasangka terhadap
sahabatmu. Dia melarangmu berbuat riba, namun Dia memberi kami itu, jika memang
Dia kaya maka tidaklah Ia memberi kami hasil riba”
Atas ucapan itu, Abu
Bakar marah dan menampar wajah Finhash. Maka Finhash mendatangi Rasul dan
melaporkan hal itu, namun ia menyangka bahwa ia telah menghina Dzat Allah. Maka
Allah menurunkan Q.S. Ali Imran ayat 181. Maka dari itu, mereka menjadi sangat
marah dan benci serta semakin mendorong mereka untuk berlaku tidak beradab
kepada Allah dan Rasulullah.[10]
c.
Intimidasi Kaum Yahudi
Ketika Rasulullah
tiba di Madinah, datanglah Abdullah bin Salam dengan membawa tiga pertanyaan
yang ingin diajukan kepada Nabi. Mendengar jawaban dari Nabi, ia merasa puas
dan kemudian bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Bahwa Muhammad utusan
Allah. Mengetahui hal itu, pendeta Yahudi berkata “Tidak beriman kepada
Muhammad kecuali orang-orang yang jelek dari golongan kami”. Mereka terus
mencela siapa saja yang menyatakan ke-Islamannya dan keluar dari kaum yahudi
dan mereka akan terus menebarkan keraguan dan menuduhnya sebagai seorang yang
batil.
d.
Menyebarkan Berita Dusta
mengenai Nabi Muhammad dan Kaum Muslimin
Pada awal hijriah, mereka menyebarkan isu bahwa
mereka telah menyihir kaum muslim supaya
mereka tidak dapat memiliki keturunan/melahirkan. Mereka melakukan hal itu
untuk memojokkan kaum muslim serta merusak kehidupan baru di lingkungan tempat
tinggal Rasulullah. Akan tetapi, hal tersebut tidak terbukti adanya. Setelah
beberapa waktu berselang, kaum muslimin merasakan kebahagiaan ketika
dilahirkannya seorang anak laki-laki oleh Zubair dari kaum Muhajirin. Ia
melahirkan di Quba dan bayi tersebut dibawa kepada Rasulullah agar didoakan.
Kemudian beliau mendoakan dan memberkatinya lewat kurma yang telah dikunyah
beliau. Dia adalah anak pertama yang dilahirkan dalam suasana Islam di Madinah.
Ia bernama Abdullah. Hal ini membuktikan bahwa isu mengenai penyihiran tersebut
tidak benar.
e.
Dukungan Golongan Munafik dan
Propaganda Mereka
Orang-orang Yahudi di Madinah bersekongkol dengan
kaum munafik untuk melawan kaum muslim. Ini akibat pengaruh pemikiran Yahudi
terhadap kaum munafik yang semakin menambah kebencian terhadap kaum muslimin.
Mereka mengajarkan dasar-dasar serangan, demonstrasi, tipu daya, penyebaran
fitnah dan celaan. Hal itu digunakan mereka untuk menambah kekuatan untuk
membelot kaum Nabi Muhammad dan memojokkan umatnya agar kembali kepada zaman
kejahiliyahan. Ancaman, serangan, dan fitnah terus disebarkan diantara penduduk
Madinah. Hal ini dikarenakan mereka khawatir jika umat Islam dapat menyaingi kekuatan
kaum Yahudi baik yang di Makkah maupun di Madinah. [11]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ketika keadaan Makkah sudah sangat tidak memungkinkan bagi umat muslim untuk
meneruskan dakwah, Allah menetapkan Madinah sebagai temoat hijrah. Alasan Allah
menetapkan Madinah sebagai tempat hijrah adalah posisinya yang memiliki benteng
tempur secara alamiah, tidak disesaki oleh kota-kota terdekat lain dan memiliki
kotur tanah yang sesuai untuk perang. Para penduduk Madinah yaitu suku Khazraj
dan Aus adalah orang-orang yang berjiwa tegar, ksatria, dan menjunjung harga
diri serta kehormatan. Diantara keutamaan Madinah: 1.) Kecintaan dan doa
Rasulullah untuk Madinah. 2.) Doa Rasulullah agar Madinah mendapat keberkahan
dua kali lipat dari Makkah. 3.) Madinah steril dari Dajjal dan wabah Tha’un.
4.) Tanah suci. 5.) Allah menjaganya dari tangan-tangan jahat, dan masih banyak
lagi. Melaui proses baiat dan permintaan dari kaum
Yatsrib, akhirnya Nabi Muhammad resmi mengizinkan umatnya hijrah ke Yatsrib
untuk memperluas sayap Islam.
Substansi dan strategi dakwah yang diterapkan
Nabi di Madinah yaitu: membangun masjid agung di Madinah, penegakan ukhuwah
islamiyah, pembuatan piagam perjanjian (Piagam Madinah), serta meletakkan
dasar-dasar politik, ekonomi dan sosial untuk masyarakat baru.
Disetiap dakwah, pastilah ada pihak yang kurang
suka terhadap kaum muslimin. Mereka melakukan segala cara untuk menghambat
proses dakwah Islam. Mereka berupaya memecah-belah front internal, menyerang
dzat Allah, mengintimidasi kaum yahudi yang masuk Islam dan menyebarkan berita
dusta mengenai Nabi Muhammad dan kaum muslimin. Hal ini cukup menghambat dakwah
Rasulullah di Madinah, tapi bukan berarti menghentikan dakwah Rasulullah,
justru hal ini digunakan Nabi untuk menambah keimanannya kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shallabi, Ali Muhammad, 2012, Sejarah
Lengkap Rasulullah, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Amin ,Samsul Munir, 2010, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah.
Yatim, Badri Yatim, 2007, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Al-Mubarakfuri, Syeikh Shafiyurrahman, 2013, Sirah Nabawiyah,
Jakarta: Gema Insani.
[1] Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Sejarah Lengkap Rasulullah,
(Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2012) hlm. 423-427
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusKaos Islami Dakwah
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Hati yang Tulus Tak Bisa Direkayasa